Semarang (ANTARA) - Media sosial merupakan ladang paling berisik dengan narasi-narasi yang mengumbar kebencian. Isu apa pun, sepertinya mudah dimanipulasi untuk menciptakan sekat keras: “kami” dan “kalian”. Seolah tidak tersisa lagi “kita” sebagai kesatuan, kebersamaan.

Kebencian bisa memicu individu atau sekelompok orang bertindak apa pun demi melampiaskan syahwat permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok, atau objek tertentu.

Dendam itu pula yang mendorong individu dan sekelompok orang merendahkan, menista, memfitnah, menganiaya, bahkan membunuh terhadap subjek yang dibenci. Betapa bahayanya kebencian dalam tatanan kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara.

Produk-produk ujaran kebencian dapat beragam kemasan, baik lisan, tulisan, hingga audio visual itu berseliweran, terutama di jagat virtual. Lebih menyedihkan lagi, sebagian produsen ujaran kebencian dan fitnah tersebut adalah sosok-sosok terdidik, bahkan pernah menduduki jabatan publik.

Nafsu untuk melumpuhkan subjek lain yang tidak sama dengan diri dan kelompoknya begitu kuat, sehingga mereka merasa berhak untuk merendahkan, bahkan melenyapkannya. Seolah tidak ada ruang untuk berbagi hidup, kecuali dengan yang sepemikiran dan satu pandangan.

Jejak sejarah bangsa Indonesia memang ditakdirkan terdiri atas beragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Ketika ada yang memanipulasi sentimen primordial, isu SARA ibarat ilalang kering pada musim kemarau. Percikan api bisa membakar ilalang yang terhampar luas dalam waktu sekejap.

Isu SARA itu pula yang sering dimainkan oleh aktor-aktor politik kotor dengan menyulut kebencian dan permusuhan melalui penyebaran isu politik identitas dan primordialisme. Beberapa kerusuhan di negeri ini, juga di belahan Bumi lain, beberapa waktu lalu juga tidak jauh dari pola mempermainkan isu tersebut.

Sebagai bangsa yang multikultural dan pernah melewati peristiwa getir atas konflik karena ada pemanipulasian isu-isu SARA di masa lalu, sudah seharusnya kita menjadikan insiden di masa lalu sebagai cermin besar untuk melihat identitas diri sebagai sesuatu yang taken for granted, yang harus dihormati sebagai sesama anak bangsa, sesama manusia.

Salah satu jalan membentuk sikap toleran, meminjam konsepsi mantan Menteri Agama Mukti Ali, adalah dengan mengembangkan cara berpikir terbuka; “setuju dalam ketidaksetujuan” (agree in disagreement).

Cara berpikir tersebut menjadikan seseorang ketika melihat perbedaan, apa pun perbedaannya, akan menerimanya sebagai sesuatu yang wajar, seharusnya ada, dan malah bisa memperkaya dari apa yang sudah ada.

Cara berpikir terbuka juga mendorong seseorang atau kelompok membiasakan diri berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada lingkup yang lebih besar untuk mencapai konsensus demi kepentingan yang melampaui kelompoknya.

Para pendiri bangsa sudah memberikan teladan terbaik tentang bagaimana mereka yang berasal dari beragam pulau, suku, bahasa, agama, dan budaya bisa membentuk kesadaran kolektif demi mewujudkan sebuah negara-bangsa yang dicita-citakan: Indonesia.

Tentu ada perdebatan dan percikan konflik dalam proses mewujudkan angan besar itu. Namun para pendiri bangsa tersebut selalu fokus pada gagasan mulia yang diperjuangkan bersama bernama "negara-bangsa Indonesia".

Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan latar belakang mereka bukan lagi menjadi sekat, melainkan malah membentuk ikatan kolektif demi membangun kepentingan yang besar.

Produk-produk kenegaraan para pendiri bangsa hasil dari olah pikir visioner mereka tersaji jelas dan autentik dalam rumusan Pancasila, ideologi yang menaungi atas segala keberagaman di negeri ini. Begitu pula yang terkandung dalam Mukadimah dan pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar 1945.

Hanya orang-orang berpikiran visioner dan terbuka yang bisa mewujudkan prasasti hidup yang kompatibel sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai generasi yang mewarisi keterbukaan berpikir dan bersikap para pendiri bangsa tersebut, seharusnya kita bisa menerima perbedaan dengan cara yang lebih beradab. Karena, sampai kapan pun, perbedaan akan selalu ada, sehingga yang dibutuhkan adalah mengubah cara pandang atas setiap perbedaan tersebut.


Pergumulan nir-etika

Tahun 2023 bangsa Indonesia memasuki tahun politik, sebelum perhelatan akbar Pemilu 2024. Akan banyak pertarungan dalam demokrasi elektoral tersebut, mulai dari pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPD, DPR RI, bupati, wali kota, gubernur, hingga memilih presiden dan wakil presiden.

Melalui pemilihan langsung, puluhan ribu kontestan bakal memperebutkan kursi yang jumlahnya sangat terbatas. Namun apabila terpilih, mereka memiliki kesempatan sekaligus kekuasaan untuk membawa rakyat menuju kemakmuran-berkeadilan yang dijanjikan.

Layaknya kontestasi dalam berbagai palagan, persaingan memperebutkan suara rakyat kerap kali diwarnai pergumulan sengit, bahkan nir-etika yang mengaduk-aduk isu primordialisme. Permainan isu seperti ini jelas tidak sehat karena akan menggerogoti pondasi kebangsaan yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.

Keberadaan media digital di satu sisi memang memudahkan kehidupan manusia, tapi di sisi lain juga punya daya rusak yang luar biasa bila tidak digunakan dan dikelola dengan bijaksana. Sudah terlalu banyak media digital, terutama media sosial, dijadikan alat untuk menyebarluaskan ujaran kebencian demi menyerang lalu melumpuhkan seseorang atau kelompok yang berbeda kepentingan.

Media sosial, dengan para elite di jagat virtual ini, mampu menggerakkan ribuan, hingga jutaan pengikut (followers) untuk berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan para pemengaruh (influencer) tersebut.

Fenomena viral menjadi sesuatu yang menakutkan ketika isu atau opini kontroversial dan manipulatif yang dilempar mereka terus-menerus direplikasi pengikut, kemudian berpotensi meletupkan konflik horisontal.

Ancaman denda dan pidana atas pelanggaran tersebut ternyata tidak selalu menakutkan. Sudah banyak orang dan pemengaruh merasakan sesaknya hidup di penjara, namun selalu bermunculan “pemain-pemain” baru yang memanipulasi isu SARA melalui media digital.

Belajar dari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dari para pendiri bangsa ini, sudah seharusnya kita menempatkan perbedaan dalam endapan realitas “yang harus ada” dan wajib menerimanya dengan penghormatan sebagai sesama anak bangsa yang beradab.

 

Copyright © ANTARA 2022