Banjarmasin (ANTARA) - Lima spesies burung raja udang atau yang lebih dikenal dalam bahasa Inggris dengan nama sebutan kingfisher menghuni kawasan Stasiun Riset Bekantan dan Ekosistem Lahan Basah “Sutarto Hadi" di Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

"Kelimanya yaitu the blue-eared kingfisher (alcedo meninting), the stork-billed kingfisher (pelargopsis capensis), the white-breasted kingfisher (halcyon smyrnensis), the sacred kingfisher (todiramphus sanctus) dan the collared kingfisher (todiramphus chloris," kata Amalia Rezeki, pendiri sekaligus pengelola Stasiun Riset Bekantan di Banjarmasin, Jumat.

Dikatakannya, Pulau Curiak menjadi surga bagi banyak jenis burung termasuk di dalamnya terdapat beberapa spesies burung kingfisher.

Menurut Amel, sebutan akrab kandidat doktor lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini, pada tahun 2013 dia pernah melakukan penelitian burung di kawasan Pulau Delta Barito, Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala.

Baca juga: Peneliti ULM temukan satwa langka burung paruh katak di Pulau Curiak

Baca juga: Seekor bayi bekantan lahir di luar kawasan konservasi Pulau Curiak


Saat itu dia mengidentifikasi spesies dan mendata status burung diurnal (aktif di siang hari). Dari 31 spesies burung, delapan di antaranya dilindungi berdasarkan pada PP No.7/1999.

Kemudian menurut organisasi internasional untuk konservasi yang bermarkas di Swiss yaitu International Union for Conservation of Nature (IUCN), dua spesies terancam punah, 22 spesies sedikit memprihatinkan, dua spesies berisiko rendah, dan lima spesies belum dinilai.

Sedangkan menurut Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), perjanjian global yang fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar, dua spesies masuk dalam Appendix II yang artinya hewan langka yang dilindungi di alamnya, tak boleh diambil dan dijual apabila keturunan hewan langka langsung dari alam.

Khusus untuk burung raja udang, kata dia, keberadaannya telah dilindungi melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2018.

"Meski status keterancamannya secara global hanya berisiko rendah, akan tetapi jumlah populasinya terus menurun akibat perubahan fungsi lahan basah dan tercemarnya perairan," papar Amel.

Burung raja udang menjadi salah satu indikator biologi karena sangat intoleran dengan lingkungan yang rusak, terutama daerah perairan dan lahan basah.

Amel menyebutkan sebagai pemakan udang atau ikan kecil, jika air sungai tercemar, burung raja udang akan sulit mendapatkan pakannya.

Untuk itulah, pentingnya menjaga kawasan ekosistem lahan basah stasiun riset tersebut, yang didominasi vegetasi tumbuhan mangrove riparian, tempat berpijah udang dan ikan.*

Baca juga: Bayi bekantan lahir di Bekantan Rescue Center Banjarmasin

Baca juga: Desa Wisata Anjir Muara bertekad jadi destinasi nasional

Pewarta: Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022