harus ada upaya memberikan perhatian lebih kepada negara sedang berkembang agar bisa melakukan transisi energi dengan baik
Jakarta (ANTARA) - Indonesia diberi kepercayaan memimpin forum tingkat internasional G20, beranggotakan 19 negara anggota ditambah Uni Eropa yang memiliki share 80 persen produk domestik bruto (PDB) global.

Perhelatan akbar G20 yang dipimpin Indonesia atau dikenal sebagai Presidensi G20 Indonesia ini, rangkaian kegiatannya sudah digelar sejak 1 Desember 2021 dan akan mencapai puncaknya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-17 di Bali pada 15-16 November 2022.

Dengan mengemban Keketuaan G20 maka ada tanggung jawab besar Indonesia untuk meneruskan agenda-agenda yang belum selesai pada Presidensi periode-periode sebelumnya.

Gelaran Presidensi G20 Indonesia yang terjadi di tengah pandemi COVID-19 hingga perang Rusia dan Ukraina, menambah deretan tugas dan tanggung jawabnya termasuk mengeluarkan dunia dari krisis.

Dengan tema Recover Together, Recover Stronger maka forum G20 pada 2022 diarahkan pada ambisi dan aksi global untuk pulih bersama dan berinvestasi bagi masa depan yang lebih kuat.

Presidensi G20 tahun 2022 yang digelar di Indonesia akan menjadi wadah untuk mengangkat isu yang mampu mendorong pemulihan secara lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sebagai pemegang Presidensi G20 pada 2022, Indonesia berfokus pada tiga isu strategis yang meliputi penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi ekonomi berbasis digital, termasuk transisi menuju energi berkelanjutan.

Indonesia berusaha membentuk fondasi dunia menjadi lebih kuat agar mampu lebih siap dalam menghadapi potensi-potensi krisis di masa depan termasuk perubahan iklim atau climate change yang memperparah keadaan Bumi.

Transisi energi
Transisi energi merupakan salah satu fokus Presidensi G20 Indonesia dengan mendorong perencanaan prioritas untuk mempercepat penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

Transisi energi menjadi salah satu pilot project atau proyek percontohan yang dibawa Indonesia saat memimpin Presidensi G20 termasuk upaya konkret memensiunkan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk beralih ke energi terbarukan (EBT).

Hal tersebut selaras dengan komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yaitu menurunkan emisi karbon mencapai 29 persen pada 2030 melalui optimalisasi pemanfaatan energi baru terbarukan.

Penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen ini akan dilakukan melalui berbagai sektor seperti kehutanan, energi dan transportasi, industrial process and product use (IPPU), limbah, dan pertanian.

Oleh sebab itu, Indonesia berusaha menjembatani negara maju dan berkembang pada keanggotaan G20 untuk mempercepat proses transisi energi serta memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan.

Pada pilar transisi energi sendiri, Indonesia mengangkat tiga isu prioritas yaitu akses, teknologi, dan pendanaan yang diharapkan dapat mencapai kesepakatan global dalam mengakselerasi transisi energi.

Ketiga pilar transisi energi tersebut dibahas dan dimatangkan dalam Presidensi G20 Indonesia melalui forum transisi energi G20 atau The Energy Transitions Working Group (ETWG).

Pertemuan ETWG yang telah berlangsung sebanyak tiga kali menjadi gelaran diskusi mengenai akses, teknologi, serta pendanaan untuk percepatan transisi energi dan pencapaian tujuan global baik Sustainable Development Goal 7 (SDG7) maupun target pengendalian perubahan iklim.

Persidangan transisi energi ini berhasil merumuskan prinsip dasar dalam mempercepat transisi energi yang disebut Bali COMPACT Forum ETWG yang akan menjadi pondasi kokoh bagi negara G20 dalam percepatan transisi energi yang dilakukan.

Transisi energi berkeadilan
Presidensi G20 Indonesia dalam mengupayakan transisi energi sangat mengedepankan prinsip keadilan yaitu memastikan tidak ada satu negara yang akan tertinggal.

Lead Co-Chairs T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan G20 harus memberi perhatian dan membahas transisi energi di negara berkembang karena terdapat proses yang mahal, berat, dan banyak pengorbanan.

“Jadi otomatis harus ada upaya memberikan perhatian lebih kepada negara sedang berkembang agar bisa melakukan transisi energi dengan baik,” kata Bambang.

Oleh sebab itu, pembiayaan hijau atau green financing dalam hal ini sangat diperlukan agar pembangkit listrik di negara berkembang bisa diubah menjadi pembangkit listrik berbahan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan harga yang murah.

Skema yang dapat digunakan untuk membiayai proses transisi energi di negara berkembang termasuk di Indonesia adalah blended finance.

Blended finance sendiri adalah mencampur pembiayaan komersial, konvensional, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan filantropis sehingga cost of fund produksi EBT dapat ditekan dan harga EBT dapat lebih murah.

Berdasarkan laman resmi Kementerian Keuangan, skema blended finance bisa mengurangi risiko bagi investor, meningkatkan likuiditas serta membangun aset yang berkualitas dan selaras dengan pembangunan berkelanjutan.

Biaya yang sangat besar mendorong Indonesia untuk mengajak negara-negara maju memikirkan transisi energi di negara berkembang mengingat jika tidak saling membantu maka target tak bisa dicapai.

Sebagai contoh di Indonesia, estimasi kebutuhan pendanaan penurunan target NDC 2030 dibagi berdasarkan tiga kajian yakni Second BUR 2018 sebesar Rp3.461,31 triliun, Roadmap NDC Mitigasi 2020 Rp3.779,63 triliun dan Third BUR 2021 Rp4.002,44 triliun.

Perbedaan estimasi kebutuhan pendanaan itu disebabkan oleh adanya tambahan kegiatan mitigasi, kalibrasi metode estimasi dan perbedaan horizon waktu.

Secara rinci, estimasi berdasarkan Second BUR 2018 sebesar Rp3.461,31 triliun terdiri atas sektor kehutanan dan lahan Rp77,82 triliun, energi dan transportasi Rp3.307,2 triliun, IPPU Rp40,77 triliun, limbah Rp30,34 triliun serta pertanian Rp5,18 triliun.

Perkiraan kebutuhan berdasarkan Roadmap NDC Mitigasi 2020 Rp3.779,63 triliun meliputi kehutanan dan lahan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,92 triliun, limbah Rp181,4 triliun serta pertanian Rp4,04 triliun.

Sedangkan proyeksi kebutuhan berdasarkan Third BUBR 2021 Rp4.002,44 triliun terdiri atas kehutanan dan lahan Rp309,01 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,93 triliun, limbah Rp185,27 triliun serta pertanian Rp7,23 triliun.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyatakan Presidensi G20 adalah momentum menagih komitmen negara maju untuk membantu negara berkembang dalam merealisasikan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT).

Pada saat Paris Agreement disepakati bahwa negara maju akan membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, yang terdiri atas bantuan teknologi, pendanaan, dan capacity building.


Aksi nyata Presidensi G20 Indonesia
Tidak hanya melalui perumusan kebijakan, Presidensi G20 Indonesia juga berusaha memberi contoh nyata secara langsung kepada seluruh delegasi selama gelaran G20.

Beberapa aksi nyata ini dilakukan dengan menyediakan motor listrik, shelter, dan mitra pengemudi driver oleh Electrum dalam upaya mendukung penyelenggaraan rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali.

Presidensi G20 Indonesia melalui perusahaan itu menyediakan 50 sepeda motor listrik, 11 shelter pick up, dan 150 mitra pengemudi atau driver.

Selain itu, delegasi studi ekskursi ETWG G20 turut diajak mengunjungi desa berbasis EBT di Desa Keliki, Ubud, Gianyar, Bali agar melihat langsung tempat pengelolaan sampah dengan pola reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) serta eco-village dan agrikultur berbasis EBT.

Di Desa Keliki ini terpasang delapan titik panel surya (solar PV) dengan total kapasitas terpasang sebesar 28 kWp.

Delegasi juga melihat pompa air bertenaga surya berkapasitas 2,5 kWp yang mengalirkan air ke sawah-sawah petani setempat sehingga ramah lingkungan dan menjadi solusi permasalahan kekurangan air irigasi.

Kemudian, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun mendukung penggunaan listrik berbasis EBT di The Apurva Kempinski Bali, Nusa Dua, Badung, Bali, yang bakal menjadi lokasi KTT G20 pada 15–16 November 2022.

Bahkan Presidensi G20 Indonesia akan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi KTT G20 yaitu sebanyak 1.452 unit kendaraan bermotor mulai dari mobil, sepeda motor hingga bus.

Kementerian Sekretariat Negara pun akan menyediakan sebanyak 830 unit kendaraan listrik yang juga dibantu oleh Kementerian Perhubungan, Polri, Paspampres, Kadin, serta perusahaan aplikasi untuk pelaksanaan KTT G20.

Berbagai upaya ini merupakan contoh aksi nyata Presidensi G20 Indonesia meningkatkan kesadaran masyarakat lokal maupun delegasi G20 untuk mengedepankan pencegahan perubahan iklim lewat EBT.







 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022