Harapannya ada lembaga permanen yang fokus mengkoordinasikan persoalan ekonomi hijau
Jakarta (ANTARA) - Tim Kolaborasi Riset Laboratorium Indonesia 45 (LAB 45) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indah Lestari mengungkapkan transisi ekonomi hijau di Tanah Air memiliki berbagai tantangan, salah satunya pendanaan.

Tantangan tersebut ada pada alokasi pendanaan ekonomi hijau yang masih bersaing dengan isu ekonomi lainnya, masih lemahnya kepercayaan publik terhadap instrumen-instrumen pembiayaan energi hijau terbarukan, serta keterbatasan transparansi pendanaan hijau dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

“Berdasarkan catatan kami, terdapat kesulitan terkait dengan kejelasan bagi investor pihak mana yang tepat untuk pendanaan tertentu, kemudian bagaimana proses penjaminan pembiayaan energi terbarukan yang tampaknya masih berisiko tinggi," kata Indah dalam Webinar LAB 45 bertajuk Ancaman Resesi Global: Transisi Ekonomi Hijau di Persimpangan Jalan, seperti dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Selain pendanaan, dirinya menuturkan tantangan lainnya dalam transisi ekonomi hijau di Indonesia adalah dari sisi regulasi dan kelembagaan. Terkait regulasi, hasil riset merekomendasikan pemerintah untuk segera memformulasikan regulasi lengkap untuk mengakselerasi pelaksanaan dan pemanfaatan ekonomi hijau.

Sementara dari sisi kelembagaan, tim peneliti mengusulkan pembentukan satuan tugas (Satgas) terkait ekonomi hijau. Satgas ini dapat berperan sebagai koordinator lintas kementerian/lembaga.

“Harapannya ada lembaga permanen yang fokus mengkoordinasikan persoalan ekonomi hijau,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan saat ini pemerintah berkomitmen untuk mendorong akselerasi proses transformasi ekonomi Indonesia menjadi lebih hijau.

“Ke depannya menuju ekonomi rendah karbon. Dua kunci kebijakan terkait ini adalah dekarbonisasi dan transisi energi,” ungkap Luhut.

Ia menyebutkan tingkat emisi karbondioksida (C02) per kapita Indonesia ada di level 2,3 ton per kapita atau masih jauh di bawah rata-rata global yang sebesar 4,5 ton per kapita.

Oleh karenanya, diperlukan inisiatif pengurangan emisi yang berkeadilan di tataran global, dimana negara-negara maju harus memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar dalam kontribusi penghentian krisis iklim yang dunia hadapi.

Sementara itu, Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi (PPKE) Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Qatro Romandhi menambahkan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menuju transisi energi.

“Kementerian ESDM memiliki beberapa strategi implementasi dalam mengurangi pemanfaatan energi fosil dan perencanaan energi baru terbarukan (EBT) jangka panjang,” tutur Qatro.

Baca juga: Riset Lab 45: Pola pengelolaan sumber daya jadi tantangan ekonomi biru
Baca juga: Indonesia gandeng UNDP-ADB dorong akses pembiayaan biru startup/UMKM
Baca juga: Pemerintah kembangkan konsep "blue bond" dukung pendanaan ekonomi biru

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022