Selama ini seaweed meski besar di produksi tapi nilainya masih kecil. Maka kita perlu mampu secara bertahap menguasai teknologi turunannya, hilirisasinya
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong keseimbangan investasi rumput laut baik di hulu, tengah (pengolahan) hingga di hilir untuk mendukung penguatan daya saing industri rumput laut.

Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Catur Sarwanto dalam Bincang Bahari bertajuk “Peluang Investasi Usaha Rumput Laut” yang dipantau di Jakarta, Selasa, menjelaskan investasi yang kecil di hulu akan mempengaruhi produksi.

Padahal di sisi tengah atau pengolahan membutuhkan bahan baku besar dan continue (berlanjut) dengan kualitas baik dan harga terjangkau.

"Ini perlu disinergikan dengan hilir atau industri pemanfaat yang merupakan pasar dari industri pengolahan rumput laut. Sehingga perlu diseimbangkan potensi investasi di hulu, investasi di tengah atau pengolahan dan investasi di pemanfaat," katanya.

Catur mengatakan pemanfaatan rumput laut diarahkan menjadi produk pangan, pakan, pupuk, kosmetik dan farmasi. Oleh karena itu, keseimbangan investasi di tiga lini pengembangan rumput laut menjadi hal penting dalam penguatan daya saing rumput laut nasional.

Ia menambahkan, selain investasi yang seimbang dari hulu ke hilir, KKP juga mendorong nilai tambah di industri rumput laut. Caranya yaitu dengan mengembangkan produk akhir rumput laut bernilai tambah yang implementatif dan ekonomis serta meningkatkan utilitas industri pengolahan rumput laut.

Selain membangun kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah juga memperkuat branding rumput laut secara nasional serta berupaya meningkatkan nilai tambah rumput laut yang saat ini didominasi dengan ekspor mentah.

Dalam kesempatan yang sama, Asdep Pengembangan Perikanan Budidaya Kemenko Maritim dan Investasi Rahmat Mulianda mengatakan meski jadi produsen utama rumput laut dunia secara volume, tetapi secara nilai ekspor rumput laut masih rendah.

"Selama ini seaweed meski besar di produksi tapi nilainya masih kecil. Maka kita perlu mampu secara bertahap menguasai teknologi turunannya, hilirisasinya," katanya.

Rahmat pun mendorong lahirnya industri berskala besar yang bergerak di bidang hilirisasi rumput laut. Hal itu perlu dilakukan sebagai upaya serius mengoptimalkan potensi rumput laut.

"Katakanlah kita sekarang kalah oleh China atau Filipina untuk industri seaweed, ya kita harus miliki roadmap ke depan soal pemenuhan kemampuan industri kita harus bertahap kita lakukan," katanya.

Berdasarkan data FAO pada 2019, dari total 35,8 juta ton produksi rumput laut dunia yang disumbang 49 negara/wilayah, sebanyak 27,86 persennya berasal dari Indonesia.

Indonesia juga tercatat sebagai produsen nomor satu dunia untuk produk gracilaria, cottoni dan spinosum yang merupakan bahan baku agar dan karagenan. Ada pun untuk produk rumput laut tropis (Kappaphycus/Euchema), pangsa pasar Indonesia di dunia mencapai 75 persen.

Indonesia merupakan produsen kedua terbesar dunia setelah China dengan 9,9 juta ton. Sementara produksi rumput laut China mencapai 20,2 juta ton.
Sedangkan secara nilai, ekspor rumput laut Indonesia juga menempati posisi kedua setelah China dengan nilai 200 juta dolar AS dan pangsa pasar sebesar 12,3 persen. Ada pun nilai ekspor rumput laut China mencapai 578 juta dolar AS dengan pangsa pasar sebesar 21,8 persen.

Baca juga: KKP siapkan empat kawasan industrialisasi rumput laut
Baca juga: Teten; Koperasi dapat jadi "offtaker" pertama rumput laut
Baca juga: KKP kawal ekspor perdana 52,4 ton rumput laut Tarakan ke Vietnam

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022