perhatian pemerintah sudah jauh lebih baik sehingga atlet berprestasi bisa mempersiapkan masa pensiun.
Jakarta (ANTARA) - Pelari gawang Indonesia Emilia Nova, 27 tahun, menyadari betul profesinya sebagai atlet tidak akan abadi. Kemungkinan cedera berkepanjangan atau faktor usia menjadi alasan yang cukup bagi dia untuk mulai mempersiapkan bekal setelah pensiun nanti sebagai atlet.

Emil, sapaan akrab Emilia, bahkan telah mempersiapkannya sejak umur 22 tahun. Semua berawal sejak Emil menerima bonus PON Jawa Barat 2016 yang kemudian dia gunakan untuk membeli rumah bagi orang tuanya di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

Namun karena rumah tersebut dinilai terlalu besar untuk ditinggali oleh ibu dan adiknya, Emil pun memutuskan untuk menjadikan lantai 2 dari rumah tersebut menjadi kamar indekosan yang terdiri atas empat pintu dengan harga sewa tiap kamar Rp1,2 juta per bulan.

Tak berhenti sampai di situ. Pada 2019 Emil memperluas bisnis indekosan miliknya dengan membeli rumah kosong di kawasan Palmerah, dekat dengan kampus Binus. Ia membangun ulang rumah tiga lantai itu menjadi indekosan yang terdiri atas sembilan kamar untuk kemudian disewakan dengan harga Rp1,3 juta per bulan.

Peraih emas SEA Games 2019 itu memilih bisnis properti dibanding usaha lainnya karena dianggap lebih mudah untuk dikontrol serta tidak mengganggu kegiatan maupun jadwal latihan.

Dia juga tak menampik dengan peluang properti yang masuk dalam investasi yang selalu naik dari waktu ke waktu.

Untuk membangun sebuah bisnis properti memang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Untuk membangun dua rumah idekosan  miliknya saja, Emil harus menggelontorkan sekitar Rp2 miliar.

Uang tersebut tentu tidak didapat secara instan. Emil harus mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk latihan demi mencapai prestasi.

Pengorbanan yang dilakukan berbuah manis saat Emil berhasil meraih tiga emas PON 2016, perak SEA Games 2017, satu perak Asian Games 2018, dan satu emas SEA Games 2019.

Dari prestasi tersebut, Emil pun dihujani bonus, baik dari pemerintah daerah maupun Pemerintah Pusat, bahkan hingga mendiang Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) Bob Hasan.

Dengan bonus yang diberikan, Emil tak lantas buta mata menghabiskan seluruh uangnya hanya untuk hiburan atau memenuhi gaya hidup. Ia memilih untuk berinvestasi demi masa depan dan kesejahteraan di hari tua ketika purnaprestasi nanti.

“Kalau saya, misalnya, punya uang atau bonus lebih baik diinvestasikan ke hal yang berguna. Kalau suka bisnis kopi ya bisa buka usaha kopi, atau kalau suka properti ya bisa bikin bisnis properti. Jadi uangnya tetap jalan karena kalau ditabung terkadang uangnya sering habis entah ke mana,” ujarnya ketika dihubungi Antara.

Emil lebih berpikir ke masa depan karena menjadi atlet tidak selamanya. Apalagi musuh terbesar atlet itu adalah cedera. Cedera itulah yang bisa bikin atlet harus pensiun. Jadi dia sekarang sudah berpikir untuk masa depan sehingga uang yang didapat tidak terbuang begitu saja.

Selain dari bonus, Emil juga bisa membangun rumah indekosan berkat uang yang dia sisihkan dari honor atau uang saku saat mengikuti pelatda maupun pelatnas. Itu belum termasuk bonus dari mendiang Bob Hasan yang kerap menyuntikkan modal usaha kepada para atletnya yang bisa mencetak rekor nasional.

Dulu ketika ada atlet bisa cetak rekornas, Bob Hasan kala itu selalu memberi bonus, tapi bonusnya bisa cair apabila atletnya punya usaha.  “Jadi maksud Pak Bob, beliau ingin setiap kami mendapat bonus itu tidak digunakan untuk foya-foya, tapi harus punya usaha bisnis untuk bekal nanti setelah tidak menjadi atlet,” ucap atlet kelahiran 20 Agustus 1995 itu.

Emil mengakui belum pernah belajar bisnis sebelumnya. Saat memutuskan untuk membangun usaha indekosan pun, dia hanya mengandalkan insting, keberanian, serta pendapat dari sang ibu dan pelatih.

Yang jelas, Emil hanya ingin mendapat penghasilan tambahan untuk ibunya serta bekal untuk kehidupan setelah pensiun nanti, mengingat hingga saat ini belum ada regulasi terkait dana pensiun maupun jaminan hari tua bagi atlet.

Perhatian pemerintah
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah mempunyai peranan penting dalam pendanaan olahraga serta mewujudkan kesejahteraan atlet, termasuk ketika purnaprestasi nanti. Namun menurut Emil, perhatian pemerintah sebetulnya sudah jauh lebih baik sehingga para atlet yang berprestasi kini bisa mempersiapkan kehidupannya sendiri untuk persiapan masa pensiun.

Apalagi saat ini sudah ada penguatan status olahragawan sebagai profesi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keolahragaan sehingga mereka berhak untuk mendapat perlindungan jaminan sosial melalui BPJS Ketenegakerjaan. Emil merasakan betul regulasi yang baru disahkan awal tahun itu saat dia mengalami cedera dan harus menjalani operasi.

Selain honor per bulan, pemerintah juga selalu menggelontorkan bonus bagi para atlet peraih medali di berbagai multievent, mulai dari SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade. Nominalnya cenderung bertambah dari satu edisi ke edisi berikutnya.

Untuk SEA Games 2019 dan 2021, pemerintah memberikan bonus Rp500 juta untuk peraih emas individu, Rp300 juta untuk peraih perak, dan Rp150 juta untuk peraih perunggu.

Pada Asian Games 2018, atlet peraih emas perseorangan menerima bonus Rp1,5 miliar, perak Rp500 juta, dan perunggu Rp250 juta. Adapun pada Olimpiade Tokyo 2020, bonus yang diberikan mencapai Rp5 miliar untuk peraih emas, Rp2 miliar untuk peraih perak, dan Rp1 miliar untuk peraih perunggu.

Bonus itu diberikan sebagai bentuk penghargaan dan ganjaran pemerintah atas kerja keras atlet. Tak hanya itu, bonus fantastis itu juga diharapkan dapat menjadi suntikan semangat dan memacu insan olahraga di Tanah Air, untuk terus berprestasi mengharumkan nama bangsa di pentas dunia.

Namun terkait hal ini, Emil menekankan bahwa apabila seorang atlet bisa berdikasi menjalani latihan demi mencapai prestasi, bonus pun pasti mengikuti.

Selain bonus dan honor, sejumlah atlet berprestasi juga biasanya bisa mendapat penghasilan tambahan dari sponsor, duta jenama (brand ambassador), dan bintang iklan. Mereka bahkan kini bisa memanfaatkan media sosial miliknya untuk mencari cuan melalui kerja sama eksposur atau endorsement.

Namun Emil meyakini bahwa segala macam bonus dan honor yang ia dapat itu hanya bersifat sementara dan tidak rutin dia terima. Oleh sebab itu, ia selalu berupaya untuk mengelola dan menggunakan bonus yang diterima menjadi sesuatu yang bisa memberi manfaat jangka panjang hingga kehidupan yang akan datang setelah dirinya pensiun.

Kalau dibanding dulu, sekarang atlet memang lebih sejahtera. “Akan tetapi bagaimana pun seorang atlet bisa dikatakan sejahtera atau tidak itu tergantung bagaimana mengelola (keuangannya),” kata Emil yang saat ini juga tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Kemenpora.

Maka bukan tak mungkin jika ada atlet berprestasi yang kemudian hidupnya terkatung-katung dan kesulitan setelah bergelimang uang, sebagian besar disebabkan karena ketidakmampuannya dalam mengelola keuangan.

Berdasarkan hasil studi sebuah majalah Amerika Serikat Sports Illustrated, ada sekitar 60 persen pemain National Basketball Association (NBA) yang bangkrut atau mengalami kesulitan finansial setelah 5 tahun pensiun karena mereka tidak bisa mengelola keuangan dengan baik saat masih aktif menjadi atlet.

Emil pun menyadari kemungkinan tersebut. Maka setelah mendapat bonus, tugas selanjutnya adalah bagaimana mengelola uang tersebut agar tidak digunakan sia-sia, salah satu caranya yaitu dengan berwirausaha.

Tak hanya Emil, atlet lainnya juga harus mulai menyadari bahwa mereka tak selamanya bisa terus berprestasi sehingga tak ada salahnya bagi atlet untuk segera mempersiapkan hari tua agar tidak sengsara di pengujung usia.









 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022