Banda Aceh (ANTARA News) - Mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud mengharapkan agar perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah dirintis dari perjanjian Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, bisa berjalan kekal sebagai titik awal menuju Serambi Mekah yang sejahtera, aman dan bermartabat. "Harapan kita semua, mudah-mudahan perdamaian ini dapat kekal. Proses perdamaian yang telah dicetuskan bersama di Helsinki itu dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik, sehingga Aceh bisa merebut kembali kejayaan dan martabat seperti masa-masa kerajaan dahulu," katanya di Banda Aceh, Kamis. Usai penyambutan dalam upacara adat tradisional peusijuk (tepungtawar) dari Pemerintah Provinsi NAD di kediaman (Meuligoe) gubernur (Meuligo), Malik menambahkan, keberadaannya hijrah ke luar negeri sejak 1976 itu adalah untuk memperjuangkan nasib masyarakat Aceh yang adil dan bermartabat. "Alhamdulillah, berkat doa dan atas kehendak Allah SWT, maka terciptalah jalan yang baik ke masa depan Aceh yakni perdamaian yang dilakukan Pemerintah Indonesia, masyarakat Aceh dan dukungan dunia internasional," ujar dia. "Insya Allah dengan perjanjian damai yang melahirkan nota kesepahaman (MoU) disetujui Pemerintah Indonesia. Oleh karenanya dengan kerjasama erat kita semua, termasuk Pemerintah maka semua hasil dari MoU tersebut dapat sempurna, sehingga Aceh yang bersejarah ini dapat bermartabat sepanjang masa," tambahnya. Ia bersama Zaini Abdullah adalah mantan petinggi GAM di pengasingan yang hingga kini masih berstatus sebagai warga negara asing. Keduanya tiba di Banda Aceh sejak 19 April 2006 dan akan melakukan serangkaian kegiatan "saweu gampong" (tinjau kampung) di Aceh Besar dan Pidie. Di Kota Banda Aceh, keduanya yang juga wakil pihak GAM dalam perjanjian Helsinki itu di "peusijuek" para tokoh masyarakat, agama dan adat Aceh. Acara tersebut turut dihadiri mantan Panglima GAM, Muzakkir Manaf, mantan Menteri Kehakiman dan HAM RI Hasballah M Saad dan mantan Dubes RI di Mesir, DR Bachtiar Aly. Sementara itu, Penjabat Gubernur NAD, Mustafa Abubakar mengatakan, masa-masa yang tidak menyenangkan yakni konflik bersenjata serta musibah gempa dan tsunami yang menelan korban jiwa lebih 200 ribu masyarakat Aceh itu sudah terlewati. "Musibah tsunami telah membuahkan perdamaian sebagai hikmah yang harus kita syukuri. Saat konflik, masyarakat hidup dalam suasana cemas dan ketakutan, namun kini kembali hidup normal yang aman dan damai sehingga terbebas dari rasa ketakutan dalam menjalani aktivitas sehari-hari," katanya. Oleh karenanya, gubernur mengharap dengan kembalinya masyarakat Aceh dari perantauan itu maka akan menjadi modal untuk bersama-sama membangun masa depan Aceh yang lebih baik dalam kerangka negara Republik Indonesia. "Kita yakin, dengan terjalinnya perdamaian itu maka tidak ada lagi rasa benci diantara kita, apalagi dendam karena kebencian dan dendam adalah sesuatu yang tidak disukai Allah SWT," kata Gubernur. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006