Jakarta (ANTARA) - Di antara isi sumpah yang diucapkan pada 28 Oktober 1928 oleh para pemuda dari daerah-daerah, dan 17 tahun kemudian, dengan proklamasi kemerdekaan, menyatukan diri dalam Republik Indonesia, adalah sumpah berbahasa satu, bahasa Indonesia, yang mungkin paling mendapatkan tantangan dari zaman ke zaman.

Memuliakan bahasa Indonesia tantangannya tidak ringan. Memuliakan bahasa sendiri membutuhkan kesetiaan penuturnya dalam menggunakan setiap saat, termasuk dalam menuliskannya dengan sesuai kaidah yang baik dan benar.

Aspek terakhir ini terlihat mendapatkan tantangan hebat dari waktu ke waktu. Apalagi dalam era digital ketika kebahasaan digugat oleh teknologi kecerdasan buatan yang di antaranya menghasilkan mesin penerjemah.

Platform penerjemah digital memang telah mempercepat komunikasi antarbudaya dan antarbangsa, tetapi juga acap mengubah cara berbahasa menjadi tidak seperti diajarkan ahli-ahli bahasa atau kaidah berbahasa yang benar.

Di antara mesin penerjemah itu, adalah Google Translate yang paling luas digunakan. Sejak diluncurkan pada April 2006, Google Translate telah digunakan pada 133 bahasa di seluruh dunia.

Posisinya semakin penting bagi masyarakat global setelah sang pencipta, Google, terus menyempurnakan mesin ini sehingga menghasilkan bentuk penerjemahan yang terus diupayakan bisa mencerminkan pesan sebenarnya dari bahasa yang diterjemahkan.

Ini terutama setelah Google merevolusi platform ini pada November 2016 melalui sistem Google Neural Machine Translation yang membuat mesin ini tak lagi menerjemahkan kata per kata, namun kalimat per kalimat.

Google Translate kini bisa menggunakan konteks lebih luas yang membuat terjemahan yang dihasilkan relatif lebih relevan dan terlihat seperti penutur yang berbicara dalam tata bahasa yang benar.

Namun demikian, mesin ini tetap memiliki kekurangan, khususnya dalam memahami konteks kalimat dan nuansa nilai atau budaya yang berada di balik kalimat.

Mesin penerjemah ini juga kurang bisa menjembatani perbedaan struktur kalimat antara bahasa satu dengan bahasa lain, misal antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Hasil penerjemahan pun kerap tak sesuai dengan ketatabahasaan dari bahasa yang diterjemahkan.

Dalam hal pemaknaan pun bisa berbeda, termasuk dalam kaitannya dengan idiom atau peribahasa yang setiap budaya memilikinya sendiri-sendiri untuk makna yang kadang sama.


Tak bisa membaca konteks

Kekurangan-kekurangan ini acap diabaikan, bahkan oleh media massa yang membutuhkan fungsi penerjemahan untuk konten yang ditulis dalam bahasa asing.

Kalimat hasil penerjemahan Google Translate kadang-kadang ditelan mentah-mentah, padahal dari sudut ketatabahasaan belumlah sempurna, dan bahkan kadang tidak mencerminkan makna yang sebenarnya.

Contohnya, Google Translate menyamaratakan beberapa kata dalam Bahasa Inggris seperti "at", "on", dan "in", sebagai "di" dalam Bahasa Indonesia. Padahal penggunaan kata-kata itu berbeda satu sama lain.

Perhatikan berita ini, "Tottenham Hotspur substitute Rodrigo Bentancur's goal deep in stoppage time secured a stunning 3-2 comeback victory at Bournemouth after the visitors had trailed by two goals in their Premier League clash on Saturday."

Google Translate menerjemahkan berita ini dengan: "Gol pemain pengganti Tottenham Hotspur Rodrigo Bentancur jauh di masa tambahan waktu memastikan kemenangan comeback 3-2 yang menakjubkan di Bournemouth setelah tim tamu tertinggal dua gol dalam pertandingan Liga Premier mereka pada hari Sabtu."

"In" pada stoppage time, seharusnya diterjemahkan dengan "pada", bukan "di".

Dengan demikian, kalimat itu bisa dituliskan lagi dalam bahasa Indonesia menjadi: "Gol yang dibuat pemain pengganti Tottenham Hotspur Rodrigo Betancur pada saat-saat akhir menit tambahan memastikan kemenangan 3-2 yang menakjubkan setelah tim tamu ketinggalan dua gol dalam pertandingan Liga Inggris di Bournemouth pada Sabtu."

Namun banyak media yang turut menyama artikan semua kata dalam bahasa Inggris itu dengan "di", padahal pada bahasa Indonesia sendiri, kata "di" digunakan untuk tempat atau sesuatu yang dikonsepsikan sebagai tempat.

Di luar tempat, kata yang lebih tepat digunakan adalah "pada" atau "dalam" atau "untuk", sesuai dengan konteks kalimat.

Ironisnya, penggunaan kata "pada" pun acap keliru dengan kata "ke" dan "kepada".

Misal, judul sebuah berita dalam media daring di Indonesia berikut ini: "Megawati Beri Tugas Ini ke Purnawirawan Jenderal Kader Baru PDIP". Seharusnya judul itu ditulis: "Megawati Beri Tugas Ini kepada Purnawirawan Jenderal Kader Baru PDIP."

Ini karena kata depan "ke" merujuk tempat atau yang dikonsepsikan sebagai tempat, sebaliknya kata "kepada" merujuk orang atau selain tempat. Purnawirawan tentu bukan tempat.

Salah satu contoh lain yang bisa disampaikan adalah kata "the" dalam bahasa Inggris yang kadang-kadang tak diterjemahkan dengan baik oleh Google Translate, padahal "the" dalam bahasa Inggris bisa berarti penunjuk untuk objek yang sudah disebut sebelumnya.

Contohnya dalam berita yang diwartakan kantor berita Associted Press ini: "There were concerns the death toll could grow as 24 people among the 104 being treated for injuries are in critical condition, according to Seoul City’s disaster headquarters. The city government said more than 2,600 people have called or visited a city office in nearby Hannam-dong..."

Google Translate menerjemahkan informasi itu dengan, "Ada kekhawatiran jumlah korban tewas bisa bertambah karena 24 orang di antara 104 orang yang dirawat karena cedera berada dalam kondisi kritis, menurut markas besar bencana Kota Seoul. Pemerintah kota mengatakan lebih dari 2.600 orang telah menelepon atau mengunjungi kantor kota di dekat Hannam-dong..."

Ada dua kata yang perlu digarisbawahi di sini, yakni "menurut" dan "Pemerintah kota".

"Menurut" adalah kata depan sehingga seharusnya ditulis lebih awal, bukan bagian akhir kalimat.

"Pemerintah kota" dalam terjemahan Google Translate seharusnya ditulis "Pemerintah kota itu" atau "Pemerintah kota Seoul", karena "the city" jelas menunjuk Seoul, bukan kota dalam pengertian umum.

Untuk itu, kalimat di atas bisa ditulis ulang dalam bahasa Indonesia menjadi: "Menurut kantor pusat penanganan bencana kota Seoul, dikhawatirkan jumlah korban tewas bisa bertambah karena 24 orang dari 104 orang yang dirawat karena cedera, tengah dalam kondisi kritis. Pemerintah kota Seoul mengungkapkan lebih dari 2.600 orang telah menghubungi atau mendatangi sebuah kantor pemerintahan kota di dekat Hannam-dong..."

Pun, dalam aspek-aspek lain, termasuk idiom. Hasil penerjemahan Google Translate kadang ditelan bulat-bulat , padahal itu memerlukan penjelasan tambahan, atau jika lebih berani lagi, memadankannya dengan idiom yang umum dalam bahasa hasil terjemahan, jika arti peribahasa itu identik dengan budaya dari bahasa yang diterjemahkan.

Misal "rub salt in the wound" atau 'menaburkan garam ke dalam luka" untuk melukiskan keadaan yang bertambah buruk, sebenarnya bisa dipadankan dengan "sudah jatuh ditimpa tangga".


Untuk menyempurnakan cara berbahasa

Ini memang tentang menerjemahkan kalimat dari bahasa asing kepada bahasa Indonesia, tetapi cara berkalimat yang kerap menelan bulat-bulat hasil mesin penerjemah cenderung menular kepada cara menuliskan kalimat atau informasi yang bukan hasil penerjemahan.

Kecenderungan yang menularkan itu bahkan sampai kepada kekeliruan dalam penggunaan kata sambung, tanda baca, sampai pola kalimat.

Misalnya, kata hubung "dan", "atau", "karena", "sehingga", "sedangkan", "sementara", "tetapi", dan sejenisnya, seharusnya ditulis dalam satu rangkaian kalimat karena fungsinya menghubungkan dua kalimat menjadi satu kalimat.

Demikian pula dengan penggunaan huruf besar,untuk jabatan atau nama. Misalnya, 'wali kota Bogor' ditulis dengan huruf kecil semua kecuali 'Bogor' karena setiap nama tempat selalu diawali huruf kapital.

Tetapi "wali kota Bogor" menjadi "Wali Kota Bogor" ketika diikuti nama orang yang menjabatnya; "Wali Kota Bogor Bima Arya". Bisa juga diawali huruf kapital jika menjadi nama kegiatan, acara atau sejenisnya. Misalnya, Piala Wali Kota Bogor.

Itu semua sekadar contoh dari banyak kekeliruan yang diidentifikasi dari penerjemahan hasil mesin pencari dan dampak kekeliruan itu menjadi kebiasaan yang menular kepada cara menuliskan kalimat yang bukan hasil terjemahan.

Pada media massa, asal telan ini karena kejaran tenggat, tapi bisa juga karena kemalasan dalam meluruskan kata atau kalimat yang tidak tepat atau juga karena ketiadaan panduan atau kesepakatan di antara para penyunting.

Dalam lanskap media yang hampir sepenuhnya telah bermigrasi kepada internet sehingga parameter keberhasilan pun merangkul aspek-aspek digital, patokan-patokan dalam cara menyajikan konten pun sering sangat mengacu kepada kecepatan, selain kepada berapa lama konten dilihat dan berapa banyak laman web dibuka pembaca.

Tapi terlalu fokus kepada semua itu, termasuk karena berusaha membuat konten bisa seramah mungkin dengan mesin pencari, khususnya Google, sering membuat berbahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi urusan ke sekian.

Ini tentunya meresahkan, khususnya untuk mereka yang peduli kepada penulisan bahasa Indonesia yang baik, termasuk media massa. Terlebih media massa mengenal fungsi penyuntingan yang di beberapa media bahkan diperkuat dengan penyunting-penyunting bahasa.

Meskipun demikian, upaya korektif ini bukanlah untuk melawan kecenderungan zaman atau menolak aspek-aspek positif dari teknologi seperti Google Translate yang saat ini bisa menerjemahkan 100 miliar kata per hari dan dipakai oleh 500 juta orang di seluruh dunia.

Sebaliknya ini lebih merupakan upaya menyempurnakan lagi cara berbahasa yang baik dan benar, karena tak mungkin menyerahkan semuanya kepada mesin yang buta terhadap konteks. Padahal dalam berbahasa, rasa dan memahami konteks adalah penting sekali.

Bagi media massa sendiri, memahami konteks bisa makin mendekatkan kepada kebenaran sehingga tidak saja membuat pembaca menjadi tahu dan paham, namun juga bisa mendorong mereka untuk bersikap dan bertindak.

Lebih dari itu, semua ini dilakukan demi sumpah "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".

Copyright © ANTARA 2022