Adapun sumber daya dalam percepatan eliminasi TBC tak harus dari sektor kesehatan. Sektor-sektor lain seperti teknik sipil dan arsitektur juga dapat terlibat dalam penanggulangan TBC dengan menciptakan hunian yang sehat.
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI, Agus Suprapto menyebutkan masalah TBC bukan hanya pengobatan melainkan juga lingkungan, perilaku, nutrisi, hingga sosial ekonomi.

"Permasalahannya kompleks bukan lagi soal obat. Soal obat sudah gratis. Masalah berikutnya adalah masalah lingkungan, masalah perilaku, masalah nutrisi, dan sosial ekonomi," kata Agus dalam webinar "Sinergi Nasional untuk Mempercepat Eliminasi TB pada Tahun 2030 di Indonesia", diikuti daring dari Jakarta, Senin.

Untuk itu, Agus mengatakan Kemenko PMK membentuk Wadah Kemitraan Penanggulangan TBC (WKPTB) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Ia menjelaskan, WKPTB membuka kesempatan seluas-luasnya kepada mitra termasuk dari dunia usaha untuk berkolaborasi dalam Aksi Program Terpadu Kemitraan Penanggulangan Tuberkulosis (Aksi Proteksi). Hal tersebut, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan sumber daya dalam percepatan eliminasi TBC di Indonesia tahun 2030.

Adapun sumber daya dalam percepatan eliminasi TBC tak harus dari sektor kesehatan. Sektor-sektor lain seperti teknik sipil dan arsitektur juga dapat terlibat dalam penanggulangan TBC dengan menciptakan hunian yang sehat.

Pasalnya, kata dia, beberapa faktor risiko TBC di antaranya rumah yang kurang terpapar sinar matahari, memiliki sirkulasi udara yang kurang baik, lembap, dan berada di lingkungan padat penduduk.

"Jadi tidak harus orang kesehatan. Yang di teknik sipil bisa menciptakan desain rumah yang sederhana untuk penderita TBC. Arsitek-arsitek itu bisa buat juga bagaimana rumah yang cuma 2,5 x 6 meter ditempati empat orang tapi sehat bagi TBC," ujar Agus.

Ia melanjutkan, para psikolog juga bisa menjadi mitra dalam penanggulangan TBC sebab pasien yang sedang menjalani pengobatan TBC biasanya mengalami perubahan kondisi mental.

"Jadi kalau minum obat TBC yang selama enam bulan itu, pada bulan ketiga sudah mulai disorientasi. Apalagi TBC yang sudah kebal obat, itu dia lebih tidak nyaman lagi," kata Agus.

Ia menambahkan, riset sosial juga sangat dibutuhkan terutama dalam mengatasi stigma negatif tentang TBC, meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat, serta memastikan perilaku pasien tidak membahayakan lingkungannya.

"Melatih orang agar batuk dengan benar itu kan tidak mudah. Contoh, ada orang batuk, sementara tetangganya banyak balita. Lalu dia keluar dari rumah, batuk-batuk, lalu meludah sembarangan tempat. Enggak lama balitanya ada yang kena TBC kelenjar misalnya," tambah Agus.

"Jadi memang bukan hanya obatnya, tapi juga peranan lingkungan ikut membantu bagaimana penderita TBC itu bisa nyaman di rumahnya dan tidak mengganggu kesehatan dan ketenangan lingkungannya," katanya.
Baca juga: Kemenkes ingatkan penting periksa kontak erat pasien TBC
Baca juga: Kemenkes: Eliminasi TBC 2030 butuh peran aktif lintas sektor
Baca juga: Pemerintah tingkatkan kompetensi rumah sakit untuk menangani TBC

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022