Undang-undang ini tujuannya baik sekali
Jakarta (ANTARA) - Spesialis Forensik dan Medikolegal Mohammad Ardhian Syaifuddin mengimbau korban kekerasan seksual untuk tidak menunda pelaporan ke penyidik agar lebih memudahkan proses visum.
 

“Kalau misalnya Anda sebagai korban kekerasan seksual atau mungkin Anda merasa ada saudara atau kerabat atau teman yang menjadi korban kekerasan seksual, laporkan kalau bisa segera, jangan takut ya,” katanya dalam Webinar HUT 103 RSCM yang ditayangkan melalui YouTube RSCM, Rabu.
 

Ardhian menuturkan pelaporan kekerasan seksual sebenarnya memiliki berbagai cara seperti ke penyidik di kepolisian, dokter, hingga ke petugas-petugas sosial yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun jika ingin membuat visum, sebaiknya datang ke penyidik terlebih dahulu.
 

Di satu sisi, ia sangat memahami jika korban kekerasan seksual takut melapor karena malu hingga faktor lingkungan yang tidak mendukung. Kendati demikian, ia tetap meminta korban kekerasan seksual tetap melapor sekalipun waktu kejadian sudah berlalu cukup lama.

Baca juga: Dokter ungkap kendala pembuktian forensik terkait kekerasan seksual

Baca juga: LPSK: Atasi kekerasan seksual Luwu Timur dengan forensik profesional

 

“Tetapi kalau misalnya dia ternyata baru berani untuk ngomong yang agak lama setelah kejadian, tetap lapor aja ke penyidik dan tetap akan kita periksa. Jadi kita jangan terlalu terpaku, kalau sudah lama pasti enggak akan ditemukan apapun,” ucap dia.
 

Ia menegaskan bahwa tim forensik memiliki berbagai cara untuk menemukan bukti kekerasan seksual. Pemeriksaan bisa melalui alat forensik yang bisa memperlihatkan bukti tak kasat mata, pemeriksaan fisik hingga sampel untuk dicek melalui laboratorium.
 

“Misalnya pemerkosaan, kita akan liat di kemaluannya, mungkin kalau memar atau luka lecet gitu mungkin dia sudah sembuh ya tapi misal ada robekan di selaput daranya itu masih tetap ada atau kalau misalnya ternyata ada luka yang dia menyembuh kemudian membentuk jaringan parut. itu juga bisa menjadi suatu alat bukti,” tuturnya.
 

Selain itu melalui kehadiran Undang Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan pada Mei 2022 lalu, akan sangat menguntungkan korban kekerasan seksual.

UU tersebut mengatur lebih rinci mengenai jenis kekerasan seksual, cara pelaporan, proses penyidikan hingga pidana dan denda bagi pelaku dibandingkan yang tercantum pada UU terkait kekerasan seksual yang tercantum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 

“Undang-undang ini tujuannya baik sekali. Kalau dibandingkan dengan undang-undang lama, lebih komprehensif dan hukuman kepada pelakunya lebih berat. Salah satu kelebihannya tidak ada retribusi, jadi tidak akan didorong untuk damai dan pasti akan lebih menguntungkan bagi korban,” jelasnya.

Baca juga: Ikhtiar mewujudkan ruang siber yang aman dari kekerasan seksual

Baca juga: Minimnya pengetahuan jadi hambatan pelaporan kekerasan seksual

 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022