Jakarta (ANTARA) - Program inkubasi Startup Studio Indonesia (SSI) yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memasuki bacth lima, dengan para startup terpilih tengah menjalani 1-on-1 coaching.

Baca juga: Tujuh "startup" jebolan SSI sukses naik kelas

Dalam 1-on-1 coaching para startup berkesempatan berdiskusi dan bertukar pengalaman dengan para veteran startup (coaching). Berikut poin-poin penting para veteran startup untuk para pendiri usaha rintisan yang baru memulai usahanya, dikutip dari siaran pers Senin malam:

1. Tren tidak perlu selalu diikuti
Selama ini, startup selalu diidentikkan dengan usaha yang mendisrupsi bisnis konvensional. Namun, pada kenyataannya, disrupsi dan tren tidak selalu berjalan di jangka panjang. Hal ini diungkapkan oleh Christopher Madiam, Founder dan CEO Sociolla.

"Tidak semua hal bisa didisrupsi. Kita sebagai founders harus bisa menganalisa mana kebiasaan konsumen yang bisa diubah, dan mana yang tidak. Misalnya di Sociolla, kami percaya bahwa kehadiran toko offline adalah hal yang tidak akan berubah," katanya.

Bagaimanapun berkembangnya sistem e-commerce, toko offline pasti akan tetap eksis, itu lah mengapa kami pun mengembangkan kehadiran offline. "Jadi perlu diingat bahwa tidak semua disrupsi dan tren-tren digitalisasi baru perlu untuk kita ikuti," pesannya.

2. Gabungkan hasil benchmarking dengan data dan analisa
Salah satu cara startup untuk bisa memahami pasar yang dituju adalah dengan melakukan benchmarking, yaitu menganalisa apa yang telah dilakukan startup serupa atau bahkan kompetitor.

Di tahap awal, founder pun bisa menjajal langsung dengan menjadi user di bisnis serupa, agar bisa mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari startup lain dan menghadirkan solusi yang lebih baik.

Baca juga: Kemenkominfo harap SSI tingkatkan startup ke bisnis lebih nyata

"Di awal perkembangan, Kita bisa sering belajar dari operasional platform penghimpunan dana internasional, Gofundme. Namun, ada perbedaan bisnis yang cukup signifikan, justru setelah itu kami menemukan platform crowdfunding dari India yang punya produk yang lebih mirip, sehingga menjadi patokan benchmarking kami," ujar Alfatih Timur, Co-Founder & CEO Kitabisa.com.

3. Lakukan eksperimen kecil-kecilan
Eksperimen secara terus-menerus merupakan kunci dari keberhasilan Rama Notowidigo, Co-Founder AwanTunai dan Sayurbox, sekaligus mantan Chief Product Officer GO-JEK. Ia mengatakan, penting bagi founder startup untuk berani mencoba segala sesuatu, dan melihat mana cara yang berhasil dan gagal.

Kesuksesan itu sendiri bisa dilihat jika eksperimen tersebut bisa menghasilkan pendapatan organik dan ada level retensi (loyalitas pengguna) yang cukup sehat. Seringkali eksperimen kecil-kecilan menjadi faktor yang lebih efektif daripada terlalu banyak menerima teori saja tanpa dipraktikkan.

Christopher Madiam pun ikut menyuarakan hal yang sama. Ia menyarankan para founders untuk mencoba segala sesuatu di skala kecil-kecilan. Jika mendapatkan respon positif dari pengguna/klien, barulah startup bisa menyempurnakan kembali produk tersebut.

4. Human touch tetap harus jadi prioritas
Bagi startup yang bergerak di bidang B2B, layanan pelanggan tetap menjadi aspek utama yang perlu dijaga. Brian Marshal, Founder dan CEO dari omnichannel commerce enabler SIRCLO Group mengatakan seiring berkembangnya skala bisnis, kita membutuhkan intelegensi dan analisa data yang kuat untuk memberikan servis terbaik.

Data ini membantu pengambilan keputusan, misalnya berapa harga yang terbaik? Berapa margin diskon yang paling bagus? Tapi jangan lupa, bahwa analisa data ini tidak bisa menggantikan layanan manusia atau human touch.

"Kita perlu memberikan layanan terbaik selalu bagi klien, betul-betul memahami apa pain points dan membantu mereka ketika menemukan hambatan. Di sini lah peran penting dari divisi layanan pelanggan atau account/relationship manager," ujarnya.

Baca juga: Lima belas startup SSI batch 4 masuki tahap akhir program inkubasi

5. Bangun fitur yang melengkapi produk utama
Dalam proses membesarkan startup, terkadang founders terlalu berfokus dalam menciptakan fitur dan produk baru, sehingga mengorbankan produk utama yang telah memiliki model bisnis yang jelas.

Untuk itu, ketika startup sudah menemukan PMF dan mempunyai jasa/produk digital yang menghasilkan pendapatan, maka bangun lah fitur dan produk-produk baru yang bisa melengkapi hal tersebut.

Hal inilah yang menjadi alasan Suwandi Soh, CEO Mekari, dalam meluncurkan Mekari University. "Dari hasil observasi, kami melihat banyak pemilik bisnis dan profesional yang membutuhkan pemahaman lebih jauh, bukan hanya dalam penggunaan software, tapi juga sisi teknis di akuntansi, perpajakan, hingga mengenai peraturan ketenagakerjaan."

Oleh karena itu, Mekari membentuk dan membangun Mekari University yang memberikan pelatihan dan membantu menutup gap tersebut. Saat ini, Mekari University juga membantu mahasiswa-mahasiswi hingga non-pengguna produk Mekari.

Mengingat pentingnya tahap PMF untuk startup, SSI berharap pelatihan tahun ini bisa berkontribusi dalam mencetak 150 startup digital yang mampu mengembangkan skala bisnisnya, dari segi jumlah pengguna, jumlah pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan pendanaan dari Venture Capital pada tahun 2024 mendatang.



Baca juga: Startup Studio masuki tahap akhir Milestone Day

Baca juga: 15 finalis SSI sempurnakan produk dan model bisnis

Baca juga: Startup Studio Indonesia masuki sesi "1-on-1 coahing"

Pewarta: Suryanto
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022