Medan yang teramat berat di Provinsi Papua tidak menyurutkan semangat pemimpin di Tanah Air untuk membebaskan masyarakatnya dari keterbelakangan.
Wamena (ANTARA) - Pemerintah terus meluncurkan berbagai program sebagai upaya menghapus kesulitan masyarakat, seperti yang dirasakan warga Distrik Trikora, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, yang sebelumnya untuk mendapatkan garam, gula, dan kopi saja susah.

Satu terobosan pemerintah untuk menjangkau kawasan itu adalah melalui penerbangan perintis bersubsidi. Program ini mungkin saja tidak begitu dirasakan dampaknya bagi masyarakat di kawasan yang mudah dijangkau melalui jalur udara, darat, bahkan kapal laut seperti di daerah pesisir Provinsi Papua.

Namun, lain cerita dengan masyarakat Distrik Trikora yang berada di tengah-tengah Pulau Papua. Karena letak geografisnya yang tidak dekat dengan pantai atau laut lepas, mereka tidak pernah tahu bagaimana pendistribusian barang melalui program tol laut, apalagi melihat kapal atau banana boat.

Sebagian masyarakat enam desa di distrik ini bahkan tidak pernah melihat kendaraan roda dua, roda empat, roda enam, bahkan roda 12 yang mudah sekali dijumpai masyarakat daerah perkotaan di Papua seperti di Kota Jayapura. Sebab, hingga kini belum ada satu pun akses jalan raya yang dibuka akibat medan geografis yang sangat sulit.

Sebelum adanya program penerbangan subsidi perintis dari perintah, keadaan masyarakat di sana  memprihatinkan. Untuk menjangkau pusat Ibu Kota Jayawijaya di Wamena agar bisa mendapatkan kebutuhan garam, gula, dan beras, mereka harus berjalan kaki melewati jalan tikus, menyusuri hutan belantara selama empat malam atau satu minggu.

Berbeda halnya ketika mereka telah berbelanja di Wamena dan hendak membawa barang belanjaan itu pulang ke Trikora. Sebab mereka bisa berjalan kaki lebih lama ketika dibandingkan saat mereka datang ke kota tanpa membawa beban.

Desa Trikora, Desa Nanggo, Desa Denggelmu, Korayaya, Ngulpa, dan Desa Koranbrik di Trikora terletak di balik gunung dan lembah. Distrik ini juga berbatasan dengan Kabupaten Nduga, Papua. Akan tetapi untuk menjangkau Keneyam, Ibu Kota Kabupaten Nduga, membutuhkan perjuangan yang sama seperti yang dilakukan ketika mau pergi ke Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya.

Masyarakat yang belum menikmati listrik PT PLN (persero) itu, baru memiliki satu lapangan terbang (lapter) yang berada di Desa Anggolok. Sementara, di tiga kampung lainnya sudah dibangun lapter namun belum rampung sehingga tidak bisa digunakan.

Salah satu lapangan terbang yang baru dibangun dengan landasan pacu sepanjang sekitar 200 meter berada di Kampung Nanggo. Namun belum digunakan untuk mendukung aktivitas penerbangan. Jika lapter itu sudah berfungsi, maka sangat membantu masyarakat sebab pendistribusian berbagai kebutuhan pokok akan lebih mudah ketimbang mereka berjalan kaki untuk berbelanja di Nduga atau Jayawijaya.

Dengan penerbangan bersubsidi, masyarakat bisa memesan barang-barang belanjaan melalui pihak maskapai atau pemerintah dari kota, lalu dibayar di tempat atau di Distrik Trikora. Bahkan mereka bisa menjangkau kota dengan hitungan menit dan biaya cukup murah dibandingkan berjalan kaki.

Penerbangan subsidi ini juga memudahkan pemerintah setempat dalam menyalurkan berbagai bantuan untuk masyarakat di sana. Memang tidak secara langsung bisa dibagikan ke tiap kampung, sebab bantuan itu disalurkan di lokasi lapangan terbang Anggolok.

"Kami sampaikan terima kasih kepada pemerintah yang telah mengirim bantuan melalui penerbangan. Kami mengucap syukur karena bisa dapat (barang kebutuhan pokok), sebab dari Trikora ke Nduga (butuh waktu) empat malam, jadi susah mendapatkan barang industri," kata tokoh intelektual Trikora Anggoma Kalolik.

Mereka mengharapkan secara bertahap pemerintah merampungkan lapangan terbang di kampung-kampung lainnya, termasuk mendorong penerbangan bersubsidi masuk di lapter-lapter baru, agar pendistribusian bantuan dan kebutuhan pokok masyarakat bisa sampai ke tiap kampung dengan biaya angkut yang lebih murah dibandingkan harus menyewa helikopter yang sekali terbang menelan dana Rp40 hingga Rp50 juta.

Masyarakat di sana mengharapkan penerbangan bersubsidi yang selama ini terjadwal dua kali dalam seminggu, bisa lebih lancar lagi, setiap hari, agar secara bertahap mereka menikmati kesejahteraan sebagaimana warga di 39 distrik lainnya di kabupaten ini.


Bisa menelepon

Kini masyarakat Trikora bisa menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi dengan kerabat di daerah lain, sebab pemerintah telah merampungkan pembangunan jaringan telekomunikasi di sebagian besar kabupaten se-Papua.

Walaupun tidak bisa menonton Youtube, mengakses Facebook, Twitter, Instagram seperti warga di pusat kota, masyarakat Trikora sudah sangat bahagia sebab mereka bisa berkomunikasi jarak jauh dengan kerabat mereka.

Dengan adanya akses telepon itu, mereka mengharapkan komunikasi dengan pemerintah lebih baik lagi. Misalnya, ketika hendak menyalurkan bantuan, pemerintah bisa menginformasikan lebih awal melalui telepon agar kepala distrik, kepala kampung mengumpulkan warganya untuk menyambut bantuan yang disalurkan sehingga ketika bantuan sampai, warga langsung membawanya ke rumah masing-masing.

Sama halnya dengan program-program pemerintah, seperti pemilihan umum (pemilu) yang perlu partisipasi masyarakat, penyelenggara sudah bisa menginformasikan terlebih dahulu melalui telepon, agar masyarakat kumpul pada hari yang ditentukan untuk menyalurkan hak politiknya dalam memilih kepala daerah bahkan kepala negara.

"Kami punya jaringan telepon, kami bisa telepon ke sana. Jadi harus ada pemberitahuan lebih dulu supaya masyarakat hadir di sana," katanya.

Satu program pemerintah daerah setempat yang juga mendapat apresiasi masyarakat adalah bantuan usaha kios untuk seluruh kampung di Trikora.

Kepala Dinas Sosial Jayawijaya Nikolas Itlay mengatakan bantuan untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) bagi masyarakat itu sudah disalurkan tahun ini. Tentu pendistribusiannya hanya bisa dengan pesawat kecil maupun helikopter.

Bantuan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua itu rencananya berkelanjutan pada tahun-tahun yang akan datang, agar masyarakat yang tinggal dekat salah satu puncak tertinggi di Indonesia itu (Puncak Trikora), bisa merasakan kehadiran pemerintah.

Nikolas yang merupakan mantan kepala distrik di Jayawijaya, mengaku beberapa kampung di sana selama ini tidak tersentuh pelayanan sehingga dinasnya terus menunjukkan kepedulian sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat distrik lain.


Layanan kesehatan

Setahun lebih akibat pandemi COVID-19 yang menguras anggaran belanja pemerintah setempat, mengakibatkan layanan kesehatan untuk masyarakat di sana terhenti. Keadaan ini yang kemudian sedang diperjuangkan pemerintah setempat agar tidak berlarut-larut.

Untuk menghidupkan layanan kesehatan yang terhenti di sana, salah satu rencana pemerintah pada tahun 2023 adalah mengirim tenaga dokter dan perawat ke distrik itu. Tenaga kesehatan itu direncanakan tinggal selama 3 bulan lebih di Trikora lalu ditarik kembali dari lokasi untuk digantikan dengan tenaga kesehatan lainnya.

Sebelum wabah COVID-19, pemerintah setempat mampu mengalokasikan dana untuk mencarter helikopter, pesawat kecil yang digunakan untuk mobilisasi tenaga medis maupun obat-obatan.

Petugas medis yang pernah dikirim saat itu tidak tinggal di puskesmas, sebab belum ada bangunan puskesmas di Trikora.

"Tahun depan kami fokus hanya di Trikora. Jadi semua duit yang kita usulkan itu, rencana kita pakai untuk mendanai tenaga kesehatan di Trikora," kata Kepala Dinas Kesehatan Jayawijaya dokter bedah Willy Mambieuw.

Medan yang teramat berat di Provinsi Papua tidak menyurutkan semangat pemimpin di Tanah Air untuk membebaskan masyarakatnya dari keterbelakangan.

Itu terlihat dan mulai dirasakan masyarakat Trikora, sebab pemerintah selalu peduli dengan nasib warga walaupun dengan susah-payah harus menjangkau mereka.



Editor: Achmad Zaenal M


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022