Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi dr. Raden Rara Diah Handayani, Sp.P(K) mengatakan sesak nafas merupakan gejala khas pneumonia yang perlu diwaspadai di samping gejala umum seperti batuk dan demam.

“Batuk, demam, atau diiringi dengan flu itu merupakan gejala yang biasa (pada pneumonia). Kalau pada orang tua dan anak kecil, apabila disertai dengan sesak (napas), ini adalah tanda pneumonia yang sangat khas,” kata dokter dari Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dalam webinar yang diikuti secara virtual di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan gejala sesak napas tersebut terjadi karena terdapat penumpukan cairan di dalam paru-paru. Ketika seseorang mengalami pneumonia, kantung udara dalam paru-paru (alveoli) dipenuhi cairan yang dihasilkan oleh proses peradangan akibat infeksi kuman, virus, maupun jamur.

“Apa dampaknya? Dampaknya adalah cairan ini mengganggu proses pertukaran udara. Kemudian dia bisa menimbulkan rasa sesak karena tadi proses masuknya udara terganggu,” ujar Diah.

Baca juga: Dokter ingatkan vaksin bisa turunkan risiko kejadian pneumonia

Baca juga: Jakarta Barat perkuat imun bayi agar terhindar pneumonia


Dengan adanya cairan di dalam paru-paru, maka penderita akan mengalami gejala batuk karena tubuh secara refleks akan berusaha mengeluarkan cairan tersebut.

Diah mengatakan dahak yang keluar biasanya berwarna kehijauan, menandakan sel-sel radang yang telah banyak. Namun, jika peradangan masih terjadi di saluran napas atas, maka biasanya penderita bergejala ringan.

Menurut Diah, tanda-tanda pneumonia seringkali sulit dikenali pada orang lanjut usia, terutama saat orang tersebut sudah tidak bisa mobilisasi mandiri. Pada lansia penderita pneumonia biasanya menunjukkan tanda penurunan nafsu makan serta batuk, namun sulit mengeluarkan dahak.

“Tanda-tanda pneumonia yang seperti itu (sesak napas) biasanya susah dikenali karena dia berbaring saja sehingga tidak lagi merasa sesak,” tutur Diah.

Untuk menegakkan diagnosis pneumonia, selain mengidentifikasi gejala-gejala, Diah mengatakan biasanya dokter akan merekomendasikan sejumlah pemeriksaan, termasuk pemeriksaan laboratorium.

“Salah satunya adalah pemeriksaan leukositosis. Leukosit adalah sel radang, dia akan meningkat pada keadaan pneumonia,” ujarnya.

Dia mengatakan pneumonia yang berat bisa mengganggu fungsi ginjal, oleh sebab itu dibutuhkan pula pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin. Terkait proses peradangan lain, dokter akan memantau dengan procrastitonin (PCT).

Kemudian apabila dokter mencurigai pneumonia diiringi dengan infeksi jamur, maka pemeriksaan serologi jamur akan dibutuhkan. Selain itu, pemeriksaan lainnya juga termasuk rontgen toraks dan pemeriksaan kultur untuk mengetahui perkiraan jenis kuman.

“(Setelah pemeriksaan) baru kita obati. Mengobati pneumonia adalah dengan pemberian antibiotik, antivirus, antijamur. Jadi harus disesuaikan dengan patogennya. Patogen ini penyebabnya,” ujar Diah.

Dia mengatakan pneumonia merupakan kategori penyakit yang akut dan bukan penyakit kronis yang menahun atau tidak sembuh-sembuh. Namun, terkadang, pneumonia juga bisa terjadi pada orang dengan penyakit kronis kemudian mengalami infeksi sehingga terjadi kondisi yang akut.

Diah memastikan bahwa pneumonia merupakan penyakit infeksi yang dapat sembuh seratus persen apabila ditangani dengan baik melalui dua langkah penting.

“Yang pertama adalah mengenali sejak dini. Kedua segera memberikan obat anti-nya. Kalau pneumonia misalnya karena bakteri, diberikan antibiotik. Kalau karena virus, diberikan antivirus. Sesegera mungkin. Biasanya pemberian bisa 5-7 hari bahkan dua minggu, dan dia bisa sembuh total,” kata Diah.*

Baca juga: Dinkes Kepri: Waspadai ISPA dan "pneumonia" serang anak

Baca juga: 229 bayi usia dua bulan di Jakarta Barat telah divaksin PVC

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022