Politik populis Trump memang disantap pemilih-pemilih pasti Republik, tetapi pemilih yang belum menentukan pilihan atau "swing voter" menolaknya
Jakarta (ANTARA) - Seandainya inflasi tak menyerang Amerika Serikat, Partai Demokrat mungkin menjadi pemenang mutlak dalam pemilihan umum sela atau midterm election 8 November yang perhitungan suaranya masih belum final.

Dalam pemilu sela, rakyat AS memilih seluruh dari 435 anggota DPR dan 35 dari total 100 kursi Senat, 36 dari total 50 gubernur, dan sejumlah pejabat negara lainnya.

Fokus diarahkan kepada pemilihan anggota legislatif atau Kongres yang terbagi dalam majelis rendah atau House of Representatives (DPR) dan majelis tinggi atau Senat.

Siapa yang menjadi mayoritas dalam kedua majelis bakal mempengaruhi pemerintahan Presiden Joe Biden dua tahun berikutnya, mulai dari ekonomi sampai politik luar negeri.

Jika DPR dikendalikan Partai Republik, maka agenda-agenda pemerintahan Biden bakal mendapatkan ganjalan, bahkan bisa memakzulkan Biden walaupun sulit melakukannya mengingat membutuhkan persetujuan 2/3 suara Senat.

Namun perkembangan terakhir menunjukkan Demokrat kembali berhasil mengendalikan Senat setelah petahana Catherine Cortez Masto akhirnya memenangi kursi Senat dari negara bagian Nevada seusai menyisihkan Adam Laxalt dari Republik.

Hasil di Nevada ini membuat Demokrat total memiliki 48 kursi. Ditambah dua kursi dari partai lain yang berafiliasi kepada Demokrat, partai penguasa ini sudah mengantongi 50 kursi yang membuatnya kembali mengendalikan Senat lewat Wakil Presiden Kamala Harris yang mengingat statusnya sebagai ketua Senat, menjadi penentu jika kursi Senat imbang 50 lawan 50.

Demokrat bahkan berpeluang mendapatkan satu kursi Senat lagi jika petahana Raphael Warnock mengalahkan Herschel Walker dari Partai Republik dalam pemilu sela putaran kedua di negara bagian Georgia pada 6 Desember.

Dengan demikian, Biden yang berusaha mengubah formasi hakim Mahkamah Agung yang saat ini berkomposisi 6 hakim konservatif dan 3 hakim liberal, tak akan mendapatkan ganjalan Senat ketika mengusulkan hakim liberal.

Setelah MA memutuskan melarang aborsi, Biden berusaha keras mengubah formasi hakim MA menjadi lebih berimbang, paling tidak dengan mengajukan seorang hakim liberal untuk menyisihkan seorang hakim konservatif.

Namun di majelis rendah, Demokrat kehilangan kendali di DPR yang dikuasai Republik. Demokrat masih berbesar hati karena mereka hanya berselisih tipis di DPR.

Berdasarkan data Google dan AP, Demokrat bisa menghimpun 214 kursi DPR, sedangkan Republik bisa menguasai 221 kursi. Artinya, Republik mengendalikan DPR dengan selisih hanya tujuh kursi. NBC malah memproyeksikan angka 219 kursi untuk Republik dan 216 kursi untuk Demokrat, atau cuma terpaut lima kursi.

Selisih begitu tipis ini menghapus kecenderungan dalam pemilu sela yang biasanya menciptakan longsor suara terhadap partai yang tengah berkuasa.

Pada pemilu sela 2018 ketika Trump menjadi presiden AS, Demokrat yang beroposisi memenangkan 41 kursi DPR. Delapan tahun sebelumnya pada pemilu sela 2010 saat Barack Obama menduduki Gedung Putih, Republik yang beroposisi memenangkan 63 kursi. Pun sewaktu pemilu sela pada era Bill Clinton, Republik menangguk 54 kursi DPR.


Baca juga: Dolar menguat, investor tunggu hasil pemilu sela AS dan data inflasi
Baca juga: Mencermati pemilu sela Amerika Serikat



Selanjutnya: Donald Trump tak begitu laku

Copyright © ANTARA 2022