Indonesia harus menyusun mekanisme transisi energi berkeadilan
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia meminta pemerintah meninjau regulasi dan kebijakan energi secara menyeluruh agar pelaksanaan skema pendanaan JEPT dalam transisi energi dapat adil, transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik.

“Indonesia harus menyusun mekanisme transisi energi berkeadilan yang mengakomodasi prinsip keberpihakan kepada lingkungan dan keadilan sosial. Adil bukan hanya memperhatikan dampak lingkungan dari transisi energi, namun juga menghormati HAM dalam implementasinya," kata Deputi Direktur Bidang Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Grita menuturkan prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam dokumen Nilai dan Prinsip Transisi Energi Berkeadilan yang diluncurkan #BersihkanIndonesia pada 20 Oktober 2022.

Menurutnya, skema yang akuntabel, transparan, dan partisipatif adalah kewajiban, termasuk pelibatan masyarakat adat, terdampak, dan kelompok rentan publik dan media lainnya.

Manajer Program dan Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) merupakan skema pendanaan yang dirintis International Partners Group (IPG) terdiri atas negara-negara G7 dan beberapa negara maju, seperti Denmark dan Norwegia.

Baca juga: IEA nilai kesepakatan JETP di G20 Bali sebagai pencapaian penting
Baca juga: PM Australia dukung inisiatif Indonesia kembangkan energi bersih
Baca juga: Luhut: Investasi 20 miliar dolar AS wujudkan ekonomi berkelanjutan

Skema pendanaan JETP terdiri atas 10 miliar dolar AS yang berasal dari pendanaan publik berupa pinjaman lunak dan hibah. Kemudian, 10 miliar dolar AS lainnya berasal dari pendanaan swasta yang diketuai oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, and Standard Chartered.

JETP akan dimanfaatkan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di teknologi dan industri energi terbarukan. Skema pendanaan tersebut sebagai sinyal positif untuk mendorong percepatan transisi energi.

Negosiasi skema pendanaan JETP bagi Indonesia dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara itu memiliki kepentingan besar terhadap sektor energi di Indonesia dengan sejarah panjang mendanai ketergantungan Indonesia pada minyak, gas, dan batu bara.

“JETP cenderung digambarkan sebagai 'inisiatif penyelamat', modal yang bergerak cepat, menawarkan peluang dan pendekatan transformatif untuk mendukung negara mitra dalam transisi energi menjauh dari batu bara," kata Andri.

Baca juga: Dukung aksi iklim, Luhut: RI siap kembangkan ekosistem karbon biru
Baca juga: Proyek PLTA Kayan Cascade bakal jadi Legacy Jokowi untuk energi bersih
Baca juga: Komunitas di Bali kampanyekan energi bersih terbarukan sambut KTT G20

Namun, ia khawatir bahwa JETP dapat gagal mendukung elemen paling kritis dari transisi yang adil jika hanya mengeluarkan utang dan tidak memberikan porsi hibah yang cukup atau pembiayaan lunak untuk negara berkembang.

Lebih lanjut ia juga menyoroti upaya Senator Amerika Serikat John Kerry selaku pemrakarsa JETP Indonesia yang menggadang-gadang pendanaan karbon sebagai bagian dari skema pendanaan transisi energi, khususnya di Indonesia.

Menurut Andri, titik berat pendanaan swasta akan menyulitkan upaya transisi energi yang dibutuhkan tetapi kurang menarik bagi swasta dan cenderung menyelipkan solusi-solusi semu yang tidak transformatif bagi sistem energi dan perekonomian Indonesia, seperti dukungan berlebihan pada teknologi mobil listrik berbasis baterai; hidrogen serta penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS).

Baca juga: BRIN buka kolaborasi internasional dukung transisi energi hijau

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022