Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Pokja IV Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi DKI Jakarta dr. Hernalom Gultom mengatakan anak yang memiliki postur tubuh pendek belum tentu mengalami stunting.

"Betul bahwa stunting itu pendek. Namun, bukan berarti semua anak bertubuh pendek menandakan dia stunting," kata Gultom dalam diskusi bertajuk "Bersinergi bersama Tim Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta dalam Mencegah dan Mengatasi Stunting" yang digelar daring diikuti dari Jakarta, Rabu.

Jika merujuk pada definisi pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021, Gultom mengatakan stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi yang berulang.

Ciri-ciri anak yang stunting, kata dia, berbadan pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tapi anak tampak lebih muda atau kecil untuk seusianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, pertumbuhan tulang dan gigi terhambat, serta mengalami gangguan kekebalan.

Baca juga: Dinas PPAPP DKI: Kehadiran keluarga berperan strategis tekan stunting

Baca juga: Puskesmas di DKI gunakan inovasi Bimasakti tekan stunting


"Dikatakan stunting bila tinggi badan pada usia tertentu, lebih kecil dari minus dua standar deviasi (-2SD) berdasarkan kurva WHO. Misalnya anak usia dua tahun, laki-laki, itu biasanya tinggi badannya 87 sentimeter. -1SD adalah 84, -2SD adalah 81. Jadi kalau anak umur dua tahun tingginya kurang dari 81 sentimeter, maka boleh curiga bahwa ini ada indikasi stunting," ujar Gultom.

Selain menilai pertumbuhan fisik anak, Gultom mengatakan perlu ada penilaian perkembangan anak yang indikatornya dapat dilihat melalui buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

"Anak yang sudah tiga bulan, seharusnya kalau ditidurkan terlentang, dia bisa angkat kepalanya kalau kita tarik tangannya. Kalau tidur telungkup, dia bisa angkat kepalanya. Lalu enam bulan dia bisa duduk, mau didudukkan atau duduk sendiri, enggak masalah," kata  Gultom.

"Sembilan bulan dia bisa berdiri, dipegangi atau berdiri sendiri. Kemudian satu tahun bisa berjalan, baik dipegangi atau berjalan sendiri," lanjut dia.

Ciri-ciri stunting lainnya, menurut Gultom, adalah anak cenderung apatis dan kurang gerak, seringkali terlihat tidak fokus dan masa bodoh, kekurangan minat dalam belajar, mengalami gangguan memori, sulit berkonsentrasi, terlambat dalam berkomunikasi sehingga menyebabkan kemampuan akademiknya rendah.

Lebih lanjut, kata dia, anak yang stunting juga bisa mengalami kecemasan, depresi, kurang percaya diri ataupun hiperaktif.

Menurut Gultom, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak stunting yaitu gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak, kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan saat kehamilan serta setelah melahirkan, pola asuh (pemberian kolostrum, inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif, dan MPASI), terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses kepada makanan bergizi, dan ketimpangan akses air minum dan sanitasi.

Untuk menanganinya, Gultom mengatakan perlu ada intervensi spesifik yaitu tindakan yang ditujukan khusus untuk kelompok sasaran 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Selain itu, perlu juga intervensi sensitif yaitu kegiatan pembangunan seperti sarana air bersih dan sanitasi bisa yang bisa diakses seluruh masyarakat, menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Persalinan, akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), dan memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua melalui Bina Keluarga Balita.*

Baca juga: Ahli gizi sarankan Ibu hamil rutin berjemur untuk cegah bayi tengkes

Baca juga: PKK: Stunting problem kompleks yang harus dihadapi dari berbagai sisi

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022