Jakarta (ANTARA) - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Olivia Lewi Pramesti menekankan pentingnya literasi digital untuk menangkal kejahatan di ruang digital.

"Kuasai literasi digital agar tidak mudah menjadi korban kejahatan digital," ujar Olivia dalam rilis pers yang diterima, Kamis.

Baca juga: Kemenkominfo-Kemendagril luncurkan model pembelajaran literasi digital

Hal itu disampaikannya dalam webinar “Lindungi Dirimu, Pahami Pentingnya Keamanan Digital”, di Pontianak, Kalimantan Barat, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.

Menurut Olivia, setidaknya ada tujuh jenis kejahatan digital yang paling populer saat ini, yaitu phishing (pengelabuan), carding (bertransaksi dengan kartu kredit milik orang lain), data forgery (pemalsuan data orang lain).

Selanjutnya terorisme siber, SIM swap (pengambilalihan nomor ponsel), skimming (kejahatan perbankan), dan ransomware (software jahat untuk mencuri data orang lain).

Seseorang bisa terjebak kejahatan digital lantaran beberapa hal, seperti penggunaan WiFi publik, tergiur dengan hadiah yang besar, sering berbelanja online, atau pelaku menggunakan teknik manipulasi psikologis.

Baca juga: Menkominfo: Infrastruktur TIK Indonesia harus dibangun secara meluas

Oleh karena itu, dia menilai bahwa literasi digital menjadi penting untuk menangkal kejahatan-kejahatan siber tersebut.

Dengan literasi digital, seseorang tidak akan mudah membagikan informasi data pribadi ke orang lain, baik secara langsung maupun ke media sosial.

“Literasi ini terkait penggunaan teknologi, berpikir kritis terhadap segala informasi di ruang digital, dan social engagement. Literasi digital menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif dan bertanggung jawab,” ucap Olivia.

Dia juga menyarankan pengguna digital untuk jeli dalam persoalan jejak digital yang ditinggalkan selama beraktivitas di dunia maya. Jejak digital terbagi menjadi dua, yaitu jejak pasif dan jejak aktif.

Pasif berarti jejak yang ditinggalkan tidak disadari penggunanya, seperti alamat IP pengguna yang bisa memperkirakan lokasi. Sementara jejak aktif adalah data dan informasi yang dengan sengaja diunggah pengguna ke internet.

Baca juga: Etika digital pedoman gunakan platform digital bertanggung jawab

Sementara itu, Dosen Program Studi KPI IAIN Kudus Primi Rohimi mengingatkan pengguna ruang digital agar sadar dan mengetahui dengan siapa dirinya berinteraksi di ruang maya tersebut.

Apabila identitasnya masih samar, perlu ditelusuri informasi tentang orang itu di media sosial atau dari jalur pertemanan. Dia menyarankan agar pertemanan dilakukan hanya dengan orang yang menggunakan identitas asli.

“Perlu diingat agar menjaga privasi satu sama lain. Kemudian, jangan asal meng-klik tautan yang tak jelas asal-usulnya dan jangan pula mudah menyebarkan atau meneruskan tautan tersebut ke orang lain. Itu semua semata-mata demi keamanan,” katanya.

Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kemenkominfo diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.

Kegiatan ini khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Kalimantan dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan komunitas cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
 


Baca juga: Pentingnya sopan santun sebagai adab beraktivitas di ruang digital

Baca juga: Akademisi ingatkan bahaya "cyber grooming" terhadap anak dan remaja

Baca juga: Bangun jejak digital yang baik dengan etika berinternet

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022