Bandarlampung (ANTARA) - Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP Apindo) Lampung menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 sebesar Rp2,633 juta.

"Terkait dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/720/V.08/HK/2022 tanggal 28 November 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung Tahun 2023 diputuskan sebesar Rp2.633.284,59, naik sebesar Rp192.798,59 setara 7,9 persen dibanding UMP Lampung 2022 sebesar Rp2.440.486. Kami menyatakan menolak keputusan tersebut," Ketua DPP Apindo Lampung, Ary Meizari Alfian, di Bandarlampung, Selasa.

Ia menyebutkan sikap ini terpaksa ditempuh lantaran di waktu beriringan, Apindo dan 9 asosiasi pengusaha lintas sektor/bidang melalui pimpinan nasional masing-masing, tengah mengajukan gugatan uji materi (judicial review) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 18/2022 tanggal 16 November 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, ke Mahkamah Agung (MA).

Apindo, bersama Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI).

Lalu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (HIPPINDO), serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), telah menunjuk kuasa hukum Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) pimpinan Denny Indrayana, mewakili pengajuan gugatan tersebut.

Baca juga: Serikat Buruh kecewa hasil penetapan UMP Lampung

Baca juga: Buruh tuntut UMP Rp3,7 juta di kantor Pemprov Lampung


Dalam pertimbangan Apindo itu, langkah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker 18/2022, dilakukan tanpa pembahasan dalam forum Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) RI dan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.

Berdasarkan hasil kajian hukum Apindo Permenaker 18/2022 bertentangan dengan aturan lebih tinggi, yakni Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 tentang Pengujian Formil UU 11/2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, dan Peraturan Pemerintah 36/2021 tentang Pengupahan.

"Bahkan, dalam telaah kami, penyusunan Permenaker 18/2022 juga ditempuh sepihak tanpa partisipasi publik seperti seharusnya," katanya.

Ary mengatakan terbitnya Permenaker 18/2022 jelang ujung masa penetapan upah minimum 2023 telah mengubah berbagai rumusan hukum yang telah ada pada peraturan yang lebih tinggi, karenanya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi itu, serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang memperburuk iklim usaha di Tanah Air.

Sembari menanti putusan MA, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo dan Menaker untuk menunda pelaksanaan Permenaker 18/2022. Permohonan penundaan ini disampaikan pula dalam permohonan uji materi.

"Kami juga dengan hormat meminta kepada semua kepala daerah, karena adanya uji materi Permenaker 18/2022 tersebut, untuk tetap menggunakan PP 36/2021 sebagai dasar penetapan upah minimum di daerah masing-masing, guna menghindari gugatan pembatalan penetapan upah minimum ke Pengadilan Tata Usaha Negara, disebabkan Permenaker 18/2022 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut," ucapnya.

Ary menjelaskan dalam permohonan uji materi, Apindo juga mengafirmasi, pengubahan kebijakan upah minimum lewat Permenaker 18/2022, bukan hanya bermasalah dari sisi hukum, tetapi juga problematik dari sisi ekonomi maupun keadilan.

"Aturan kenaikan upah yang baru, ditakutkan memberatkan dunia usaha, pada gilirannya dapat berpotensi menyebabkan hilangnya peluang kerja. Bahkan gelombang PHK massal," tambahnya.*

Baca juga: AJI tegaskan perusahaan pers harus penuhi hak jurnalis

Pewarta: Agus Wira Sukarta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022