“Dulu jaman VOC, jaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Jaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa,” kata Presiden Jokowi dalam Kompas100 CEO Forum di Istana Negara, Jakarta, Jumat.
Presiden menekankan bijih nikel yang dilarang ekspor itu adalah kekayaan alam Indonesia. Karena itu, dia mempertanyakan mengapa kewenangan pemerintah Indonesia terhadap kekayaan alamnya sendiri digugat.
"Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Lho ini barang kita kok," ujar dia.
Indonesia, kata Jokowi, memang sudah diputuskan kalah dalam gugatan tersebut di WTO pada Oktober 2022 lalu. Namun itu baru proses penyelesaian sengketa tahap pertama. Presiden menegaskan akan banding atas putusan itu.
“Karena ini ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ya ekosistem besar yg kita impikan ini tak akan muncul,” kata Presiden.
Dia menjelaskan larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan pemerintah sejak 2020 ditujukan untuk mendorong proses hilirisasi nikel yang dapat menciptakan produk turunan untuk produksi baterai kendaraan listrik.
Pemerintah ingin membentuk ekosistem kendaraan listrik sehingga perlu produk turunan nikel sebagai bahan baku. Selain itu, hilirisasi barang tambang seperti nikel, akan menciptakan banyak lapangan kerja dan, peningkatan nilai ekspor.
“Ekosistem seperti chip, seperti komponen digital tadi. Ekosistem besar, karena sekali lagi nikel itu kita nomor, reserve (cadangan nikel) kita nomor satu. Timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh dunia. Punya semuanya. Membangun ekosistem electric vehicle (kendaraan listrik) baterai itu kita hanya kurang litium,” kata Presiden Jokowi.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022