Deir Mama, Suriah (ANTARA) - Meski mengetahui keterampilan pembudidayaan ulat sutra hampir punah di Suriah yang dilanda perang, Muhammad Saud, salah satu dari sedikit petani sutra yang tersisa di negara itu, mengalihfungsikan sebagian rumahnya menjadi museum sutra, untuk menghormati teknik pembiakan tradisional ulat sutra dari leluhurnya.

Kendati perdagangan tradisional itu tidak dapat memberikan nafkah untuk keluarganya di tengah sulitnya situasi ekonomi di Suriah setelah perang berlangsung selama 11 tahun, Saud beserta istri dan anak-anaknya, yang tinggal di desa pegunungan Deir Mama di Provinsi Hama, Suriah tengah, masih tertarik menggeluti budi daya ulat sutra dan pembuatan sutra.
 
   Bagi keluarga Suriah tersebut, yang mewarisi keterampilan kuno itu dari leluhur mereka, memelihara ulat sutra, dan menyaksikan hewan itu membuat kepompong di atas pohon murbei menjadi kegembiraan tiada duanya.   Pria berusia 68 tahun tersebut menyadari bahwa peternakan ulat sutra mulai menghilang di Suriah. Penurunan itu terjadi jauh sebelum perang Suriah berkecamuk, terutama saat pohon-pohon murbei ditebang di desa tempat tinggalnya, Deir Mama, sebuah desa yang terkenal dengan sutranya selama berabad-abad sebelum para petani mulai menanam zaitun untuk menghasilkan lebih banyak uang.


Hal itu diwariskan turun-temurun dalam keluarga, kata Saud kepada Xinhua di museum sutra pribadinya. Dia masih menggunakan alat tenun berusia 180 tahun untuk membuat pakaian sutra dan alat pemintal kayu berusia 120 tahun untuk memintal sutra.
 
   Pria berusia 68 tahun tersebut menyadari bahwa peternakan ulat sutra mulai menghilang di Suriah. Penurunan itu terjadi jauh sebelum perang Suriah berkecamuk, terutama saat pohon-pohon murbei ditebang di desa tempat tinggalnya, Deir Mama, sebuah desa yang terkenal dengan sutranya selama berabad-abad sebelum para petani mulai menanam zaitun untuk menghasilkan lebih banyak uang


Saud mengenang kembali bahwa pada 1991, Deir Mama memproduksi 10 ton kepompong per tahun. Namun, jumlahnya anjlok menjadi hanya 150 kilogram pada 2004, penurunan tajam yang mengisyaratkan bahwa keterampilan ini tidak akan bertahan lama sebagai sebuah bisnis di Suriah modern.

Menghadapi penurunan bisnis sutra di Suriah, Saud dan keluarganya tetap setia pada sejarah dan warisan mereka, dan mendirikan museum di halaman rumah mereka pada 2008, bergantung pada wisatawan untuk meraup pendapatan dan menceritakan kisah-kisah mereka tentang serikultur Suriah dengan sejarah selama 2.000 tahun.

Saat krisis meletus pada 2011, keluarga Saud menghadapi situasi yang lebih sulit. Namun, dia berhasil bertahan bersama tiga petani ulat sutra lainnya, yang menjadi pembudi daya ulat sutra terakhir yang tersisa di Deir Mama.

"Sebagai pembudi daya ulat sutra yang masih memiliki pohon murbei, serta melakukan pemintalan sutra dan bekerja dengan alat tenun berusia 180 tahun milik kakek buyut saya ini, saya begitu terikat dengan sutra," ujar Saud kepada Xinhua.

"Saya berharap suatu hari nanti kehidupan dapat memberikan imbalan atas semua kerja keras yang telah kami lakukan, dan mempertahankan profesi tua yang mulai punah ini," pungkas Saud. 


 

Editor: Bayu Kuncahyo
Copyright © ANTARA 2022