Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) meminta DPR RI untuk membahas kembali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terkait dua pasal yakni pasal 410 dan 412 mengenai akses alat pencegah kehamilan.

"Masyarakat sipil melihat rancangan KUHP versi 9 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan," kata CEO dan pendiri CISDI Diah Saminarsih dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Diah mengatakan perubahan mendesak pada pasal 410 dan 412 mengenai alat pencegah kehamilan perlu segera dilakukan karena faktor urgensi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Ia menuturkan dalam pasal 410 dan 412, hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.

Menurut CISDI, itu berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil, dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019 menunjukkan dari 9.805 puskesmas di Indonesia, hanya 2.035 puskesmas atau 20,8 persen puskesmas yang memiliki dan dapat menunjukkan Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja.

Sedangkan, 1.390 atau 14,2 persen puskesmas mengaku memiliki, namun tidak dapat menunjukkan pedoman tersebut. Mayoritas sisanya, sekitar 6.380 atau 65,1 persen puskesmas, tidak memiliki Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja.

Di luar keterbatasan kapasitas layanan, Survei Adolescent Reproductive Health yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama USAID, Kementerian Kesehatan, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan tingginya preferensi anak-remaja dalam usia 15-24 tahun yang belum menikah melakukan diskusi mengenai kesehatan reproduksi bersama temannya dibandingkan layanan formal.

Diah mengatakan pasal 410 melarang penunjukan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi. Itu berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah.

Pasal tersebut juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.

Temuan UNICEF 2020 mencatat tingginya angka remaja perempuan di Indonesia yakni 32 persen yang belum mampu mengakses alat kontrasepsi modern. Kondisi tersebut berkontribusi pada tingginya angka kehamilan remaja atau kehamilan terlalu muda di Indonesia.

Studi Bank Dunia (2017) menemukan 47,3 dari setiap 1.000 remaja perempuan di Indonesia pernah melahirkan. Temuan itu lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 44 dari setiap 1.000 remaja perempuan.

Diah menuturkan pasal 412 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif. Riset Jacobi (2020) menjelaskan tingginya stigma dan diskriminasi menyulitkan orang dengan HIV (ODHIV) mengakses layanan kesehatan.

Sementara Riset Kebijakan AIDS Indonesia (2016) menekankan pentingnya peran kelompok dukungan sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak-remaja dengan HIV mengenai kepercayaan diri, pengetahuan, pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, akses layanan, perilaku pencegahan, dan kegiatan positif lainnya yang didukung kelompok dukungan sebaya.

Baca juga: CISDI: Cukai minuman berpemanis tambah pendapatan negara Rp3,7 miliar
 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2022