Jakarta (ANTARA) - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bertanya-tanya setiap kali menerima laporan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia setiap bulan. Pertanyaan tersebut seputar seberapa akurat hasil survei yang dilakukan lembaga analisis data itu dapat mencerminkan kondisi industri dalam negeri.

Pasalnya, lembaga penyedia layanan analisa tersebut tertutup terhadap perusahaan-perusahaan yang disurvei. Sehingga, Menperin kesulitan memahami secara utuh terkait kondisi industri nasional. Padahal, informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk mengambil kebijakan yang sesuai di sektor industri.

Sebagai pembina industri dalam negeri, Menperin kemudian berinisiatif untuk membuat survei serupa guna memantau kondisi industri secara periodik, sehingga dapat segera merespons permasalahan yang terjadi pada industri untuk menghindari terjadinya kerugian yang lebih besar.

Inisiatif tersebut bernama Indeks Kepercayaan Industri (IKI). IKI merupakan indikator derajat keyakinan atau tingkat optimisme industri manufaktur terhadap kondisi perekonomian. IKI juga digunakan untuk mendiagnosa permasalahan sektor industri guna mencari penyelesaiannya secara cepat dan tepat.

Guna menentukan angka IKI, Kemenperin menyebarkan kuesioner kepada 23 subsektor industri untuk diisi oleh 2.000 responden terkait tiga variabel yang ditentukan, yakni pesanan baru, persediaan produk, dan produksi. Untuk menjaga kredibilitas data yang diberikan, Kemenperin meminta staf setingkat manajer perusahaan mengisi kuesioner tersebut melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).

Perusahaan industri menyampaikan laporan pada 12-23 setiap bulan. Setelah data yang diterima lengkap dan jelas, data akan diolah oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenperin menjadi nilai IKI dan akan dirilis pada setiap akhir bulan.

Guna menjaga kredibilitas dan keakuratan data industri yang dilaporkan, Menperin meminta agar industri menyampaikan data sesuai dengan kondisi sebenarnya. Penyampaian data oleh industri bukan lagi hanya sekedar kewajiban, tetapi sebagai salah satu metode vital untuk memantau perkembangan industri nasional.

Kendati demikian, industri disebut tidak perlu khawatir dengan keamanan dan kerahasiaan data yang diberikan, karena Menperin dan jajaran berkomitmen untuk menjaga agar tidak terjadi kebocoran data terkait IKI.

Selama ini, memang terdapat indeks-indeks yang menjadi cerminan produktivitas industri, seperti data PMI Manufaktur yang dirilis Standard & Poor's atau S&P, dan Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dirilis Bank Indonesia.

Sebagai perbandingan, IKI yang melibatkan 23 subsektor industri dengan 2000 responden terbilang melibatkan lebih banyak sektor industri dan responden, dikeluarkan setiap bulan. Sementara itu, PMI Manufaktur yang dirilis Standard & Poor's atau S&P, melibatkan 400 responden, serta Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dirilis Bank Indonesia dengan 600 responden dan delapan subsektor Industri.

Untuk itu, keberadaan IKI akan memperkaya referensi data perkembangan industri yang digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan sektor industri. Dengan demikian, IKI boleh disebut akan menyajikan informasi yang lebih terperinci per subsektor industri. Kendati demikian, Menperin tetap menggunakan indeks manufaktur yang dirilis S&P dan BI sebagai perbandingan.

Nilai IKI

IKI sendiri akan memberikan nilai indeks yang dapat diinterpretasikan sebagai kondisi industri nasional. Jika angka IKI antara 0-50 maka interpretasinya adalah terjadi kontraksi pada industri dalam negeri. Sedangkan, jika berada di angka 50, maka kondisinya stabil. Kemudian, jika angkanya diatas 50, hal itu menunjukkan sektor industri sedang ekspansif.

Interpretasi tersebut disimpulkan berdasarkan tiga variabel yang telah disampaikan, yakni pesanan baru, ketersediaan produk, dan produksi. Menurut Menperin, penggunaan variabel IKI saat ini memang lebih sedikit dari yang digunakan S&P yakni lima variabel. Untuk itu, Kemenperin menerima berbagai masukan untuk perbaikan yang lebih sempurna ke depannya.

Pada peluncuran perdananya, Kemenperin melansir angka IKI pada November 2022 mencapai 50,89. Dengan demikian, industri nasional terbilang ekspansif dan terdapat optimisme bagi perekonomian nasional.

Dari hasil survei terhadap 23 subsektor industri, 11 subsektor industri berada pada kondisi ekspansif. Adapun 11 subsektor industri tersebut merepresentasikan 71,3 persen dari kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dari 11 industri tersebut, subsektor industri alat transportasi memperoleh angka IKI tertinggi, yakni 60.

Sementara itu, 12 subsektor industri lainnya berada dalam kondisi tertekan, di mana salah satu yang pertumbuhannya mengalami pelemahan adalah subsektor industri tekstil. Untuk itu, Kemenperin tengah mempelajari apa yang terjadi dengan industri tekstil untuk segera dapat penanganan.

Sambutan industri

Peluncuran IKI mendapat sambutan dari pelaku industri nasional, salah satunya Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman yang mengatakan bahwa IKI berpotensi meningkatkan kepercayaan investor dari dalam maupun luar negeri.

Hal tersebut karena IKI mewakili kondisi industri nasional berbasis data yang kuat. Menurut Adhi, IKI juga berpotensi menyelamatkan industri dalam negeri yang sedang mengalami pelemahan, sehingga dapat terdeteksi lebih cepat dan segera tertangani.

Adhi berharap, IKI akan dilansir secara konsisten oleh Kementerian Perindustrian dengan tetap berkomitmen menjaga kerahasiaan data perusahaan yang diberikan.

Adhi percaya, IKI benar-benar dapat mencerminkan kondisi industri nasional di lapangan. Adhi juga berharap agar seluruh industri makanan dan minuman dapat memberikan data yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Sambutan yang sama juga disampaikan Ketua Umum Gabung Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi dengan menyebut IKI sebagai sebuah terobosan menghimpun kekuatan data yang menggambarkan industri dalam negeri.

Dengan IKI, lanjut Nangoi, maka industri nasional dapat terukur dan terdeteksi setiap bulannya.

Alvin Toffler, seorang penulis dan futurolog asal Amerika Serikat mengatakan, anda bisa menggunakan seluruh data kuantitatif untuk mengambil keputusan.

Dengan demikian, membangun IKI bukan hanya soal bagaimana mendengar kondisi industri nasional, namun juga membangun kekuatan data untuk menetapkan kebijakan yang tepat sasaran dan cepat agar industri nasional dapat terbang lebih tinggi.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022