Bahan baku bioetanol ini sangat beragam. Saat ini dengan adanya tebu, molases (tetes tebu), pemerintah sudah concern di situ
Jakarta (ANTARA) - Kementerian ESDM melalui Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) terus mendorong percepatan implementasi bioetanol untuk bahan bakar menyusul bahan bakunya yang tersedia dan melimpah di dalam negeri.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam Seminar Riset Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Jakarta, Selasa, menjelaskan ada sejumlah peluang untuk mempercepat pemanfaatan sumber energi tersebut.

"Bahan baku bioetanol ini sangat beragam. Saat ini dengan adanya tebu, molases (tetes tebu), pemerintah sudah concern di situ. Bioetanol bisa juga dari sorgum. Beberapa pemda sudah mulai mencanangkan, ada beberapa FS (studi kelaikan), harganya cukup menarik dikembangkan," katanya.

Selain itu bioetanol juga bisa dihasilkan dari batang pohon sawit tua karena masih mengandung nira (air gula) dan pati.

Bioetanol dibuat dengan teknik fermentasi biomassa seperti umbi-umbian, jagung atau tebu, dan dilanjutkan dengan destilasi. Jenis bioetanol ini dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar.

Baca juga: Erick: Indonesia harus bisa produksi bioetanol atasi importasi BBM

Edi menambahkan teknologi produksi bioetanol juga tergolong tidak terlalu susah dan cukup bisa diimplementasikan. "Keberterimaan publik dan kendaraan juga tidak jadi masalah. Toyota bahkan sudah memproduksi engine (mesin) yang bahkan sudah diekspor ke Brasil. Jadi mereka sudah fleksibel untuk penggunaan etanol," katanya.

Ia menyebut pengembangan bioetanol akan dapat mendukung ketahanan pangan dan energi. Dalam konteks gula, visi untuk mencapai swasembada gula juga akan berdampak pada penciptaan ketahanan energi karena tanaman tebu akan menghasilkan bioetanol yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati.

Kendati demikian Edi mengakui penerapan bioetanol untuk bahan bakar tidak mudah. Sejumlah tantangan mulai dari pasokan yang terbatas hingga tidak adanya insentif sebagaimana biodiesel dari dana sawit.

Padahal sebagaimana Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, pengembangan bioetanol 5 persen (E5) untuk campuran BBM sudah harus mulai dilakukan pada 2020 dan secara bertahap meningkat ke E20 pada 2025.

Baca juga: Menteri BUMN dorong etanol dapat menjadi substitusi untuk BBM

"Seharusnya di tahun 2020 ini kita sudah mulai dengan E5, juga E10 untuk transportasi, tapi masih banyak tantangan sehingga program ini belum berjalan sesuai dengan yg kita harapkan," katanya.

Edi merinci sejumlah masalah diantaranya terbatasnya produksi bioetanol dalam negeri yang baru mencapai 40 ribu KL dari kapasitas terpasang hampir 200 ribu KL. Begitu pula tidak adanya insentif untuk mendukung pengembangan bioetanol.

"Terkait dengan subsidi bioetanol itu juga belum berjalan dengan bagus," katanya.

Belum lagi keterbatasan infrastruktur yang perlu diterapkan jika implementasi bioetanol berjalan. Menurut Edi, bisa saja melakukan impor untuk mendukung infrastrukturnya, namun perlu ada pertimbangan soal fluktuasi harga dolar AS hingga keberlanjutannya di masa mendatang.

Baca juga: Khofifah optimistis industri bioetanol wujudkan ketahanan energi

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022