sudah sangat reformatif, progresif, dan juga responsif dengan situasi di Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan persetujuan DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menunjukkan kedaulatan bangsa Indonesia di bidang hukum.

KUHP warisan Belanda juga sudah tidak relevan dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia, katanya di Jakarta, Rabu.

"Sementara itu, RUU KUHP yang disetujui DPR untuk disahkan sudah sangat reformatif, progresif, dan juga responsif dengan situasi di Indonesia," kata Bambang Soesatyo.

RUU KUHP tersebut akan mengalami masa transisi selama tiga tahun dan berlaku efektif pada 2025. Menurut dia, seperti keberadaan UU lainnya, seiring dengan perjalanan waktu RUU KUHP bisa mengalami berbagai penyempurnaan dan menyesuaikan kebutuhan bangsa.

"Tidak sekadar menjadi momen historis karena Indonesia memiliki KUHP sendiri, keberadaan UU KUHP juga harus menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana," jelasnya.

Hal itu menurut dia karena terdapat tiga pidana yang diatur, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana bersifat khusus.

Baca juga: Yasonna: Pemerintah punya waktu 3 tahun sosialisasikan KUHP baru

Bamsoet menilai keberadaan pasal-pasal di RUU KUHP yang banyak disoroti publik, seperti pasal pidana "kumpul kebo", santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis, sebetulnya telah melalui kajian berulang secara mendalam antara Pemerintah dan DPR dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.

"Karena itu, penentangan dari pihak asing, khususnya di pasal kumpul kebo, tidak perlu dikhawatirkan karena keberadaan pasal tersebut telah sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, serta sesuai dengan kultur budaya dan ajaran dari berbagai agama yang dipeluk bangsa Indonesia," katanya.

Jika saat ini berbagai pasal tersebut masih mendapatkan sorotan publik, lanjutnya, maka Pemerintah dan DPR perlu lebih gencar menyosialisasikan UU KUHP ke berbagai kelompok masyarakat.

Dia mengatakan apabila masih ada ketidakpuasan dengan keberadaan UU KUHP tersebut, maka masyarakat bisa menggunakan hak konstitusi untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena itu, tidak perlu melakukan demonstrasi yang mengganggu aktivitas publik dan mengganggu (keadaan) kondusif politik," imbuhnya.

Baca juga: Menkumham: KUHP upaya reformasi perluasan jenis pidana

Selain itu, Bamsoet mengapresiasi Pemerintah dan DPR RI yang telah menyelesaikan pembahasan RUU KUHP dan persetujuan DPR untuk RUU itu disahkan menjadi undang-undang.

Setelah selama 104 tahun menggunakan KUHP warisan produk Belanda mulai tahun 1918 dan melintasi tujuh kepemimpinan presiden dan 14 periode DPR RI, katanya, akhirnya Indonesia memiliki UU KUHP hasil anak bangsa.

"Saat saya memimpin DPR RI di periode 2018-2019, pembahasan RUU KUHP sudah hampir selesai. Namun, karena waktu periode DPR RI sudah hampir berakhir, akhirnya pembahasan tersebut di carry over dan dilanjutkan oleh DPR RI periode 2019-2024," ujar Bamsoet.

Dalam setiap pembahasan RUU KUHP, Pemerintah dan DPR RI senantiasa mengedepankan prinsip transparan, teliti, dan partisipatif sehingga sudah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan publik.

Baca juga: Paripurna DPR setujui pengesahan RUU KUHP

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022