Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar mengatakan interaksi anak dengan orang tua menjadi kunci edukasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, baik daring (online) maupun langsung.

Baca juga: Literasi digital langkah awal cegah anak dari kekerasan "online"

“Selain edukasi masyarakat untuk memberikan penguatan kapasitas untuk penggunaan gadget, memastikan anak ke sekolah dan berinteraksi dengan lingkungan harus menjadi perhatian kita semua,” kata Nahar di Jakarta, Kamis.

“Beri pemahaman anak soal apa yang mengancam dirinya dan orang tua perlu didorong untuk beri pengasuhan yang baik, termasuk masyarakat sendiri,” imbuhnya.

Lalu, Nahar mengatakan terdapat sejumlah hal yang menjadi tantangan bagi pihak-pihak terkait untuk menekan kasus perundungan dan kekerasan seksual terhadap anak berbasis daring dan langsung.

Pertama, adalah faktor ekonomi, sosial dan budaya dari keluarga. Menurut Nahar, ketiga hal tersebut turut berpengaruh pada cara pendampingan dan pengasuhan orang tua kepada si buah hati.

Lebih lanjut, Nahar mengatakan tantangan selanjutnya adalah layanan dan bantuan yang terintegrasi bagi anak dan korban.

Baca juga: ChildFund: Solusi inovatif perlu bagi pembangunan rendah karbon

“Ketika anak rentan dan hadapi masalah, belum ada layanan-layanan yang terintegrasi, atau masih parsial kebutuhan dan bantuannya. Lalu bagaimana interaksi orang tua, anak dan masyarakat dengan kasus-kasus di lingkungannya untuk merespons dan melapor, dan relasi antarpihak dan perkembangan teknologi,” jelas Nahar.

Selain itu, Nahar mengatakan sinergi berbagai pihak sangatlah dibutuhkan dalam memastikan perlindungan anak dan remaja di dunia maya.

“Di tengah gempuran adopsi perilaku digital sebagai salah satu dampak pandemi, anak-anak dan remaja menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan, perundungan dan eksploitasi seksual secara online,” kata Nahar.

“Oleh karena itu, sinergi lintas sektoral dan multidimensi dari orang tua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah hingga sektor privat menjadi hal yang krusial demi terwujudnya dunia maya yang aman bagi anak Indonesia,” imbuhnya.

Di sisi lain, Kementerian PPPA dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas) mendukung perilisan kajian berjudul “Memahami Perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia” yang dibuat oleh organisasi ChildFund.

“Sebanyak 6 dari 10 remaja di Indonesia mengalami perundungan online (cyberbullying),” kata Country Director ChildFund International di Indonesia, Hanneke Oudkerk.

Dalam kajian ini, ChildFund juga mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online, di antaranya adalah paparan perundungan tradisional (luring), pengawasan orang tua, norma kelompok dan kepemilikan kelas berimbas pada perundungan online, dan paparan konten berbahaya di internet.

Sebagai langkah nyata untuk membantu kaum muda menavigasi dunia maya dengan lebih baik, ChildFund mengembangkan dua inisiatif baru di Indonesia yakni, Program Swipe Safe dan Kampanye Web Aman dan Bijaksana Web (Web Safe and Wise).


Baca juga: Jay B sumbang Rp1,2 miliar untuk anak kurang mampu

Baca juga: Menanti benih cinta anak pada sasando tumbuh


Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022