Riau, (ANTARA News) - Rimbunan pohon akasia di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Arara Abadi, Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, tidak dapat melindungi tubuh besar seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Ketika melewati kawasan hutan yang tidak menyediakan tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanannya, hewan besar itu tergeletak tidak berdaya diterjang peluru panas. Bunyi tiga kali tembakan yang didengar para pekerja penebang kayu akasia di areal HTI anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) pada Sabtu (29/4) dini hari, itu tidak begitu diindahkan para pekerja yang bermukim di bedeng-bedeng dekat lokasi penebangan kayu. Bagi mereka, saat berada di tempat sesunyi itu suara apapun tidak harus ditanggapi, karena lokasi tempat mereka bekerja jauh dari keramaian dan pemukiman penduduk. Setelah tiga hari kemudian para pekerja mulai resah karena munculnya bau busuk menyengat. Bau tak sedap itu juga menganggu masyarakat yang lalu lalang di jalan koridor KM 42 Tasik Serai. Setelah ditelusuri, ternyata bau itu berasal dari bangkai seekor gajah dengan kondisi yang sangat memiriskan hati, tubuh tambunnya dalam posisi miring ke kanan dengan kaki terkangkang, belalai panjangnya terpotong dari tubuhnya, sedangkan dua gadingnya lenyap. "Mungkin suara tembakan pada malam Sabtu kemarin berasal dari letusan senapan yang membunuh gajah," ujar seorang pekerja ketika ditemui di sebuah bedeng di lokasi yag tidak jauh dari ditemukannya bangkai gajah itu. Lelaki penebang kayu itu ketika berbicara dengan ANTARA enggan menyebutkan namanya. Bagi para pekerja bedeng, onggokan bangkai gajah tersebut mungkin tidak terlalu menarik perhatian mereka walaupun bau tak sedap terus menyebar dan makin menyengat. Kasus kematian gajah ini mulai terkuak keluar setelah masyarakat yang bermukim di desa-desa sekitar lokasi HTI membawa berita ini keluar dari Tasik Serai. Lokasi tempat gajah mati sebetulnya tidak begitu sulit dijangkau, namun karena cuaca buruk jarak tempuh 42 kilometer dari Duri, ibukota Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, itu menjadi beban berat hingga jarak sejauh itu memerlukan waktu tempuh selama dua jam. Untuk menuju lokasi dapat ditempuh dengan menyusuri Jalan Gajah Mada dari Simpang Tiga Sebanga Duri. Jalan aspal tidak sampai dua kilometer berganti dengan jalan tanah yang berdebu saat kering dan berlumpur tebal saat hujan. Kondisi buruknya jalan itu menyebabkan masyarakat yang bermukim di perkampungan sepanjang jalan lebih memilih diam di rumah. Sebelum memasuki hutan akasia terlebih dahulu ditemui areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan yang dipasangi pagar listrik dan perkampungan penduduk. Sangat mudah menemukan lokasi bangkai gajah itu, karena teronggok di dekat jalan koridor dan tidak jauh dari plang larangan menebang pohon dan berburu satwa liar yang dilindungi sesuai Undang Undang Nomor 41/1999 yang dibangun pihak perusahaan. Plang larangan yang dipasang mencolok di kawasan hutan sepanjang koridor, tidak mempan bagi para pemburu liar. "Kawasan ini merupakan daerah jelajah gajah. Ia hanya lewat di sini tapi sayangnya malah dibantai," ujar Koordinator Human Elephant Conflic WWF Indonesia Program Riau Nurchalis Fadli ketika melihat bangkai itu. Kawasan Tasik Serai serta beberapa desa di daerah itu merupakan alur jelajah gajah, tiap waktu tertentu hewan langka yang hidup berkelompok itu, melewati kawasan tersebut. Kemunculan gajah di kawasan itu memang sering dianggap sebagai gangguan oleh masyarakat. "Tetapi dari lokasi dan cara pembunuhannya, kasus ini bukan karena konflik (dengan penduduk) tetapi gajah ini sengaja dibunuh untuk diambil gadingnya," kata Nurchalis. Meskipun bangkai gajah tersebut telah dikuburkan oleh pihak perusahaan, namun belalainya yang cukup besar dengan panjang sekitar 1,5 meter masih teronggok di tempatnya dan menjadi santapan biawak, belatung, dan langau. Sedangkan, kuburan gajah itu berupa gundukan tanah kuning yang terlihat dikerubuti langau dan belatung, karena dangkalnya kuburan hingga bau busuk tetap muncul. Pemburu profesional WWF bersama tim medis dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau pada Rabu sore (3/5) mengautopsi bangkai gajah jantan yang telah membusuk itu. Saat autopsi itulah diketahui, ada tiga lobang bekas tembakan, yakni di bagian dahi, pangkal telinga, dan kemaluan. "Kalau dilihat dari titik-titik tembakan, penembaknya tahu betul sasaran yang mematikan dan ia profesional," ujar Nazaruddin, pakar gajah liar dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, Lampung, yang berada di Riau sejak sebulan lalu untuk merawat gajah tangkapan KSDA di Balairaja, Duri. Ia mengaku tidak pernah melihat kasus pembantaian gajah sesadis itu, belalai dipotong hingga pangkalnya, mulut dikoyak untuk mengambil gading serta giginyanya, sehingga wajah pejantan malang yang diperkirakan berusia 30-an tahun itu tidak utuh lagi. "Perkiraan saya, ini ulah pemburu profesional," katanya, sambil menambahkan pembantaian terhadap satwa mamalia berbelalai itu demi gadingnya. Perbuatan pemburu profesional juga diakui Kapolsek Mandau AKP Azwaryang mengatakan gajah tersebut dibunuh untuk diambil gadingnya. "Ini ulah sekelompok orang yang memang mahir berburu gajah karena ingin mengambil gadingnya. Gadingnya diambil pakai `chainsaw` (gergaji mesin)," katanya. Sementara itu, Kepala Seksi Wilayah II KSDA Riau Ali Nafsir Siregar mengatakan, pihaknya telah meminta polisi mengusut tuntas kasus tersebut. "KSDA memang memiliki PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) tetapi kita juga bekerjasama dengan Polri," jelas Ali Nafsir. Kalangan pencinta lingkungan khawatir kasus pembatanian gajah kali ini juga tidak terungkap layaknya kasus-kasus serupa sebelumnya. Dari sekian kasus, baru satu kasus yang terungkap dan pelakunya dikenai hukuman 20 tahun penjara karena terbukti memburu gajah dan mengambil gadingnya. Kasus itu menyangkut perburuan di Desa Mahato Kabupaten Rokan Hulu, Riau yang terjadi pada 17 Agustus 2005. Sementara itu, selama 2006 WWF mencatat terjadi 15 kasus kematian gajah di beberapa daerah di Riau. Kasus gajah mati itu sebagian besar merupakan korban konflik gajah-manusia. "Sebanyak 15 kasus ini merupakan kasus yang diketahui. Mungkin masih banyak lagi kasus kematian gajah yang tidak terungkap," kata Nurchalis. Kekuatiran aktivis WWF ini beralasan, sebab populasi gajah sumatera di Riau terus menyusut dari tahun ke tahun dan kini jumlahnya diperkirakan tinggal 200-250 ekor akibat hilangnya habitat asli hewan berbadan besar itu. (*)

Copyright © ANTARA 2006