Jadi, banyak hal kontraproduktif sehingga kami sarankan adanya strategi baru nasional,.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mengusulkan reformasi total dan strategi baru secara nasional untuk mengatasi permasalahan beras dan pupuk.
 
"Masalah beras dan pupuk ini sudah sangat lama dan tidak tuntas-tuntas. Butuh reformasi menyeluruh, mulai dari data, kelembagaan, pupuk-benih-pestisida, teknologi dan alat pertanian, kredit pertanian, harga, hingga manajemen stok," kata Evita Nursanty dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
 
Salah satu permasalahan yang cukup aneh, menurut dia, ketika mau meningkatkan produksi, alokasi dan anggaran untuk pupuk bersubsidi malah menurun dari tahun ke tahun.
 
"Jadi, banyak hal kontraproduktif sehingga kami sarankan adanya strategi baru nasional," kata Evita.
 
Setiap kali dirinya turun ke daerah pemilihan, kata dia, masalah pupuk bersubsidi yang terus muncul dari para petani.
 
"Prihatin sekali karena sepertinya tidak ada solusi permanen. Padahal, dunia saat ini dihantui ancaman krisis pangan sehingga dibutuhkan pembenahan yang cepat," kata anggota DPR RI dari Dapil Jateng III itu.
 
Evita menilai koordinasi dan komunikasi lintas kementerian/lembaga kurang begitu baik dalam urusan beras. Demikian pula koordinasi antara pusat dan daerah. Namun, hal itu tidak bisa dibiarkan terus, apalagi berpikir masalahnya dapat selesai dengan sendirinya.
 
"Butuh political will dan action yang cepat, sebelum berlarut-larut. Lebih heran lagi, di tengah upaya besar untuk menggenjot produksi beras, justru anggaran untuk pupuk bersubsidi terus menurun," ucapnya.

Baca juga: Mendag akui Indonesia tidak punya rencana stok pangan
Baca juga: Mendag pastikan impor beras tak akan dilakukan dekat panen raya
 
Wakil rakyat ini menyebutkan jumlah anggaran tersebut Rp34,31 triliun pada 2019, kemudian turun menjadi Rp31,1 triliun pada tahun 2020, pada tahun 2021 menjadi Rp29,1 triliun, kemudian turun lagi pada tahun 2022 yang hanya Rp25,3 triliun.
 
"Jadi, kebutuhan pupuk subsidi sebanyak 25,18 juta ton hanya bisa dipenuhi 9,5 juta ton atau sekitar 40 persen saja," kata dia
 
Begitu pula terkait dengan jenisnya. Dia menyebutkan dari lima jenis untuk 70 komoditas pertanian, menjadi hanya dua saja, yaitu urea dan NPK untuk hanya sembilan komoditas.

Evita menilai hal itu kontraproduktif terhadap upaya swasembada pangan yang berkelanjutan.
 
"Penurunan ini menurut saya kontraproduktif terhadap upaya swasembada pangan yang berkelanjutan. Pada waktu lalu ada indikasi kenaikan anggaran tidak diiringi dengan kenaikan produksi maka pengawasannya yang harus diperkuat, bukan malah dikurangi," katanya.
 
Ia menegaskan bahwa beras adalah komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia karena beras merupakan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Gangguan pada produksi dan distribusi bisa berdampak pada stabilitas. Oleh karena itu, isu beras tidak bisa dipandang enteng.
 
Terkait saling bantah data Kementan dan Bulog, Evita mengaku heran hal itu masih terus saja terjadi. Kementan bilang produksi beras surplus danstok cukup. Namun, menurut Bulog, kondisi defisit sehingga dibutuhkan beras impor.
 
Padahal, lanjut Evita, ada begitu banyak solusi yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi atau era digital saat ini.
 
Jika persoalannya tentang metodologi, kata dia, harus bisa disepakati bersama. Namun, egosektoralnya harus dihilangkan dengan memandang pada kepentingan nasional yang lebih utama.
 
Disebutkan pula bahwa data yang baik dibutuhkan, mulai dari pengadaan pupuk hingga penyaluran bantuan lainnya, termasuk dalam urusan stok.

"Itu berpengaruh ke semua. Jadi, kalau tidak mau diajak bersama-sama dari kementerian/lembaga atau antardaerah, perlu ada kekuatan yang bisa memaksa, yaitu dari Presiden RI," ujarnya.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022