Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan perubahan sistem pemilu semestinya cukup menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR RI.

“Apabila Mahkamah Konstitusi (MK) terlibat lebih jauh soal ini, berarti MK bukan lagi menggunakan pendekatan konstitutif, tetapi malah terjebak dalam pendekatan aktual lapangan yang semestinya menjadi ranah pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang,” kata Yanuar di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, apabila sistem pemilu tertentu berakibat hal-hal buruk, seperti pragmatisme, biaya mahal, persaingan tidak sehat antarcaleg, dan penurunan loyalitas kepada partai, itu bukan persoalan konstitusional.

Dia menilai berbagai persoalan itu sebenarnya bisa dipecahkan dengan merevisi undang-undang sebagai prosedur legislatif yang paling masuk akal.

“Sepanjang pemerintah dan DPR bersepakat untuk mengubah maka hal itu tidak sulit dilakukan,” ujarnya.

Yanuar menilai upaya mengubah sistem pemilu sebagaimana uji materi yang diajukan ke MK harus diperhitungkan dampaknya.

Menurut dia, perubahan sistem proporsional ke arah tertutup akan menimbulkan dampak cukup besar, bukan saja mengubah hal-hal teknis tetapi memengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik.

Baca juga: Anggota DPR soroti rencana KPU larang sosialisasi caleg dan capres
Baca juga: Anggota DPR RI tanggapi isu "reshuffle" kabinet


“Secara teknis, proporsional tertutup memang lebih memudahkan KPU mempersiapkan pemilu, khususnya yang berkaitan dengan logistik pemilu. Namun ‘harga’ yang harus dibayar cukup mahal,” katanya.

Selain itu, menurut dia, dampak yang ditimbulkan adalah konfigurasi internal pencalegan di masing-masing parpol akan berubah, proses pematangan, pendewasaan, dan kompetisi para caleg menjadi terhenti,

Dia menilai perilaku politik para politisi akan berubah menjadi lebih elitis, hubungan caleg dan konstituen akan hancur berantakan.

“Lebih jauh, hal itu akan berdampak buruknya hubungan anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihan,” ujarnya.

Yanuar mengingatkan bahwa sistem proporsional terbuka adalah Putusan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2009.

Dia menilai apabila MK mengabulkan gugatan uji materi ke arah proporsional tertutup, maka hal itu akan menjadi aneh karena lembaga tersebut memiliki standar ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu.

“Apakah soal sistem pemilu, proporsional terbuka atau tertutup, hal itu menjadi layak dihadapkan dengan konstitusi. Bukankah soal ini lebih merupakan dinamika kontemporer dan perkembangan sosiologis di lapangan, dan bukan soal konstitusional, apakah konstitusi secara 'rigid' mengatur sistem pemilu tertentu,” ujarnya.

Yanuar menyarankan agar KPU berhati-hati menjalankan komunikasi publik terkait uji materi sistem pemilu. Menurut dia, apabila belum menjadi keputusan, maka sebaiknya tahan diri terlebih dahulu untuk beropini melampaui ketentuan undang-undang yang masih berlaku.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022