Ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas, dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga
New York (ANTARA) - Harga minyak berayun liar pada 2022, naik karena ketatnya pasokan di tengah perang di Ukraina, kemudian merosot karena melemahnya permintaan dari importir utama China dan kekhawatiran kontraksi ekonomi, tetapi menutup tahun ini pada Jumat (30/12/2022) dengan kenaikan tahunan kedua berturut-turut.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari terangkat 1,86 dolar AS atau 2,4 persen, menjadi menetap di 80,26 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret bertambah 2,45 dolar atau 2,9 persen, menjadi ditutup di 85,91 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Untuk tahun ini, Brent naik sekitar 10 persen, setelah melonjak 50 persen pada 2021. Minyak mentah AS naik hampir 7,0 persen pada 2022, menyusul kenaikan tahun lalu sebesar 55 persen. Kedua harga acuan tersebut turun tajam pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19 memangkas permintaan bahan bakar.

Harga melonjak pada Maret karena invasi Rusia ke Ukraina membalikkan aliran minyak mentah global, dengan patokan internasional Brent mencapai 139,13 dolar AS per barel, tertinggi sejak 2008. Harga mendingin dengan cepat di paruh kedua karena bank-bank sentral menaikkan suku bunga dan memicu kekhawatiran resesi.

"Ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas, dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga," kata analis ING, Ewa Manthey. "Tahun depan akan menjadi tahun ketidakpastian, dengan banyak volatilitas," katanya.

Investor pada tahun 2023 diperkirakan akan terus mengambil pendekatan yang hati-hati, mewaspadai kenaikan suku bunga dan kemungkinan resesi.

"Permintaan dan pertumbuhan permintaan akan menjadi pertanyaan nyata karena tindakan keras bank-bank sentral global dan perlambatan yang mereka coba rekayasa," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York, dikutip dari Reuters.

Sebuah survei terhadap 30 ekonom dan analis memperkirakan Brent akan mencapai rata-rata 89,37 dolar AS per barel pada tahun 2023, sekitar 4,6 persen lebih rendah dari konsensus dalam survei November. Minyak mentah AS diproyeksikan rata-rata 84,84 dolar AS per barel pada tahun 2023, turun dari proyeksi sebelumnya.

Sementara, lonjakan perjalanan liburan akhir tahun dan larangan Rusia atas penjualan minyak mentah dan produk minyak telah mendukung minyak mentah, pasokan yang lebih ketat akan diimbangi tahun depan dengan penurunan konsumsi bahan bakar karena lingkungan ekonomi yang memburuk, kata analis CMC Markets, Leon Li.

Penurunan minyak pada paruh kedua tahun 2022 karena kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi mendorong dolar AS. Itu membuat komoditas berdenominasi dolar seperti minyak mentah lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Dolar berada di jalur untuk membukukan kenaikan tahunan terbesar sejak 2015.

Pembatasan nol-COVID di China, yang baru dilonggarkan bulan ini, telah menghancurkan harapan pemulihan permintaan. Importir minyak terbesar dunia dan konsumen terbesar kedua itu pada tahun 2022 mencatat penurunan pertama dalam permintaan minyak selama bertahun-tahun.

Sementara, permintaan minyak China diperkirakan akan pulih pada tahun 2023, lonjakan kasus COVID-19 baru-baru ini telah meredupkan harapan akan dorongan segera dalam pembelian barel.

Dalam indikator pasokan di masa depan, jumlah rig minyak dan gas AS naik 33 persen untuk tahun ini, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes Co dalam laporan terbarunya.

Baca juga: Harga minyak naik tipis, di jalur kenaikan tahunan kedua
Baca juga: Minyak naik di awal sesi Asia, bersiap ditutup lebih tinggi pada 2022
Baca juga: Minyak jatuh saat ketidakpastian China, permintaan AS batasi kerugian

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022