kondisi pasar di kawasan Asia mengalami perbaikan sentimen atau berbeda dengan pasar global, serta risiko resesi negara-negara di kawasan ini juga lebih rendah.
Jakarta (ANTARA) - Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengatakan, perbaikan sentimen di kawasan Asia mendorong perpindahan investor dari kawasan berkinerja unggul menuju kawasan yang dianggap telah jenuh jual (oversold), efeknya pun dirasakan pasar saham Indonesia.

Kondisi tersebut membuat dana asing sebesar 0,4 miliar dolar AS bergerak keluar dari pasar saham Indonesia pada akhir 2022 atau kuartal IV-2022, kata dia dalam diskusi bertajuk “2023 Market Outlook : Seeds of Opportunity” secara daring di Jakarta, Selasa.

Padahal, dia mengungkapkan arus dana asing yang masuk pasar saham Indonesia mencapai 4,4 miliar dolar AS sepanjang  2022.

Baca juga: Saham Asia merosot jelang data ekonomi China yang diperkirakan lemah

Dia menjelaskan bahwa kondisi pasar di kawasan Asia mengalami perbaikan sentimen atau berbeda dengan pasar global, serta risiko resesi negara-negara di kawasan ini juga lebih rendah.

Dia mengatakan fenomena tersebut disebabkan relatif rendahnya kenaikan suku bunga di kawasan Asia serta relatif terkendalinya inflasi sepanjang 2022 lalu.

Selain itu, relaksasi kebijakan zero COVID-19 China juga memberikan dampak positif berantai terhadap perekonomian Asia, ditambah nilai tukar mata uang negara-negara Asia mulai tertopang dengan meredanya penguatan dolar AS.

“Secara umum, pembukaan kembali perekonomian China dapat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia karena China merupakan mitra dagang utama dari Indonesia.” ujar Katarina.

Baca juga: Indo Premier: Sentimen domestik dan eksternal sokong pasar modal RI

Dalam kesempatan ini, dia mengatakan arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) pada 2023 akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di tingkat global.

Dia melanjutkan arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut masih menjadi perhatian pasar dan dapat menyebabkan volatilitas dalam jangka pendek.

“Inflasi yang berkepanjangan dan sektor tenaga kerja yang masih kuat mendorong The Fed untuk mengindikasikan bahwa pengetatan moneter belum akan dikendurkan dalam waktu dekat. Pertumbuhan ekonomi global dapat terdampak,” kata Katarina.

Dengan demikian, piihaknya pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melemah pada 2023 dan risiko resesi ekonomi masih mengancam kawasan negara maju.

Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023