Jakarta (ANTARA) - Agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bergulir sejak akhir 2018 di DPR RI kembali mengemuka, usai tragedi keracunan obat sirop merenggut ratusan nyawa.

Peristiwa di medio 2022 itu merenggut sekitar 199 nyawa konsumen yang didominasi usia anak. Jumlah korban melampaui korban tewas tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Oktober 2022, serta perayaan Halloween Itaewon, Korea Selatan, pada 1 November 2022, yang korabannya berkisar kurang dari 155 jiwa.

Kasus gagal ginjal akut yang disebabkan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) tak pelak menyita perhatian publik atas fakta adanya celah pada sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia.

Jejak digital juga merekam peristiwa peredaran vaksin palsu DPT/HIB untuk anak pada Juli 2016 yang melibatkan sedikitnya 37 fasilitas kesehatan, termasuk 14 rumah sakit ternama. Hingga teranyar, puluhan korban keracunan pangan olahan bernitrogen cair yang digemari anak dengan sebutan Chiki Ngebul.

Rangkaian kejadian itu menyadarkan publik atas perlunya penguatan pada sistem pengawasan obat dan makanan yang paripurna, sehingga masyarakat merasa lebih terlindungi dari paparan produk berbahaya bagi kesehatan.

Tantangan bagi otoritas pengawas di Indonesia saat ini memang kian kompleks, sebab dihadapkan dengan luasnya cakupan wilayah dan kondisi geografis kepulauan Indonesia, pertumbuhan jumlah penduduk, globalisasi dan perdagangan bebas, perkembangan ilmu teknologi, dan e-commerce, penyelundupan produk ilegal, hingga singgungan mandat perundang-undangan.

Lantas, simpul apa saja yang memerlukan penguatan payung hukum untuk memberi perlindungan bagi konsumen dari peredaran obat dan makanan berbahaya di Indonesia?

Ahli farmakologi dan farmasi klinik dari Universitas Padjadjaran Bandung Prof Keri Lestari merangkum tantangan bagi otoritas pengawas obat dan makanan menjadi dua bagian, yakni faktor keamanan dan kemandirian yang harus berjalan pararel dengan tujuan yang sama untuk menghasilkan produk yang terjamin secara mutu dan keamanan, serta dilengkapi data yang jelas sebelum sampai ke tangan konsumen.

Pada tantangan untuk menghadirkan produk yang aman, jangan sampai berimplikasi pada proses birokrasi panjang, rumit, bahkan membutuhkan biaya besar.

Seperti diketahui, industri farmasi nasional memproduksi sekitar 90 persen dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai produk obat lainnya. Tapi, kasus pencemaran obat hanya terjadi spesifik pada jenis sirop dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.

Data menunjukkan, sekitar 5 persen dari ragam obat sirop yang sempat beredar yang tercemar, dan kurang dari 2 persen dari total obat yang beredar yang tercemar. Sementara itu, lebih dari 94 persen obat sirop lainnya layak dan aman dikonsumsi.

Hal ini menunjukkan mayoritas sistem pengawasan kualitas produksi industri farmasi dan sistem pembinaan oleh BPOM secara mayoritas sudah berjalan baik, meski di sisi lain ada penyebab spesifik yang memunculkan permasalahan pada obat sirop.

Pada kasus masuknya bahan baku impor obat sirop berupa polyethylene glycol (PEG), propylene glycol (PG) maupun EG/DEG ke Indonesia, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mensinyalir adanya pemalsuan bahan pelarut oleh oknum suplaier kimia yang mengganti bahan PG menjadi EG/DEG. Selain itu, hasil produksi sirop obat jadi, tidak diperiksa untuk kandungan EG/DEG-nya karena selama ini belum ada standar di dunia untuk pemeriksaan EG/DEG pada produk obat jadi.

Meski kasus tersebut masih dalam ranah penyelidikan hukum, BPOM berpandangan bahwa bahan-bahan tersebut, masuk ke dalam negeri sebagaimana bahan kimia umum lainnya untuk kebutuhan industri, seperti bahan baku cat, hingga pembersih radiator. Padahal, bahan baku tambahan dalam proses produksi obat sirop sudah semestinya dalam jangkauan pharmaceutical grade yang diawasi BPOM.

Untuk itu, pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan payung hukum berupa undang-undang, dan setiap kelembagaan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan obat dan makanan memiliki independensi dan kewenangan yang kuat dalam melaksanakan tugasnya.

Keri Lestari yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia mendukung upaya penguatan kemandirian lembaga BPOM selama diikuti kemampuan menyesuaikan irama keperluan layanan masyarakat, seperti perizinan yang cepat, membuka peluang produk inovasi, dan birokrasi yang tidak kaku.

Kemampuan beradaptasi itu memperkuat citra BPOM sebagai pelindung masyarakat, bukan justru penghambat.

Kemandirian lembaga BPOM diharapkan juga mempertegas tanggung jawab hukum manakala timbul persoalan keamanan produk obat dan makanan di masyarakat, sehingga tidak terjadi saling lempar antarinstansi.


Perbandingan

Sebagai perbandingan, perlu dilihat bagaimana negara lain mengatur dan melakukan pengawasan obat dan makanan. Seperti yang dilakukan oleh Food Standards Australia New Zealand/FSANZ (Australia), Ministry of Food and Drug Safety/MFDS (Korea Selatan), Pharmaceuticals and Medical Devices Agency/PMDA (Jepang), dan Saudi Food and drug Authority/Saudi-FDA (Arab Saudi).

Dari keempat negara tersebut, MFDS Korea Selatan merupakan otoritas regulator nasional yang dinilai dapat digunakan sebagai acuan dalam penguatan kelembagaan BPOM, seperti dari segi tugas, fungsi, dan peran dalam melakukan pengawasan terhadap obat, alat kesehatan, produk biologi, kosmetik, obat herbal, obat kuasi, dan makanan yang meliputi produk pertanian, peternakan, serta perikanan.

MFDS juga berperan penting dalam mengawasi keamanan pangan dari hulu ke hilir, penambahan kewenangan Criminal Investigation Office (CIO) untuk menyelidiki dan menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi terhadap komoditi yang diawasi, serta berperan penting dalam memajukan sektor industri di bidang farmasi.

Kelembagaan MFDS diatur dalam National Government Organization Act serta diperkuat dengan undang-undang yang mengatur kewenangan untuk mengawasi mutu dan keamanan pangan, urusan kefarmasian, produk kosmetik, hingga alat medis.

MFDS awalnya bertanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan, tapi dengan adanya restrukturisasi, MFDS menjadi lembaga setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri.

MFDS membagi peranan fungsi antara pusat dengan regional. Kantor pusat di Seoul berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan pengembangan, sedangkan enam kantor regional di Seoul, Incheon, Busan, Daegu, Daejeon, Kwangju berfungsi dalam penegakan hukum, pengawasan dan surveilans, termasuk melakukan inspeksi ke perusahaan.

Otoritas regulasi dan pengawas di sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan  Malaysia, terbagi atas dua entitas yang berbeda, agar muncul kejelasan dari penanggung jawab pemberi pelayanan dan produk yang sampai di masyarakat.

Perbandingan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam memperkuat kemandirian BPOM di Indonesia yang memiliki undang-undang sendiri, sama halnya dengan MFDS yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menterinya (kepala pemerintahan).

Keri Lestari menyebut, kemandirian BPOM justru menghadirkan tugas berat. Di satu sisi harus beradaptasi pada standar internasional, tapi di sisi lain dihadapkan pada tuntutan pelayanan dalam negeri yang sesekali memerlukan diskresi terhadap kondisi tertentu.

Contohnya, fleksibilitas pada perizinan obat herbal yang telah memenuhi bukti empiris karena sudah digunakan dalam jangka waktu yang lama di masyarakat, sehingga tidak perlu lagi uji toksisitas subkronik yang berbiaya besar serta waktu proses yang panjang.

Stigma tentang rumitnya sistem birokrasi yang ditempuh saat berhubungan dengan BPOM perlu diperbaiki melalui komunikasi publik yang lebih baik, seperti edukasi tentang pemenuhan prosedur persyaratan yang sesuai, sehingga lebih mempermudah serta mempercepat terbitnya izin.

Dukungan independensi diyakini semakin menguat manakala BPOM mampu menghadirkan performa layanan yang cepat bagi pemohon izin edar, juga jaminan keamanan produk bagi masyarakat umum. Sehingga kemandiriannya mendatangkan kemanfaatan besar bagi masyarakat terkait pengembangan obat dan makanan.

Guna mewujudkan kemandirian tersebut, BPOM juga perlu memastikan hadirnya ekosistem pendukung yang sesuai harapan para pemangku kepentingan. "Mungkin, kalau sekarang BPOM belum sesuai dengan harapan pemangku kepentingan, karena kemandiriannya belum penuh karena harus juga berkoordinasi dengan lembaga lain," katanya.


Sanksi hukum

Dalam satu kesempatan, Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengutarakan kerisauannya tentang keterbatasan wewenang penindakan hukum, salah satunya dalam hal pengungkapan kasus peredaran makanan ilegal yang melibatkan jejaring daring, di mana otoritas berwenang ada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI.

"Kelihatannya, kami tidak berdaya dengan daring. Hanya bisa takedown, mati satu, tumbuh lagi 1.000. Sanksi diberikan manakala ada koordinasi dari BPOM dengan Kominfo," katanya.

Tak jarang pula, segala bentuk penegakan hukum yang dikaitkan dengan produk obat dan makanan di Indonesia selalu memperoleh hukuman percobaan kepada pelaku. Sangat jauh dari hukuman 10 tahun penjara sesuai Pasal 196 UU Kesehatan.

Dengan meningkatnya tren kejahatan obat dan makanan setiap tahunnya, diperlukan pengaturan sanksi pidana sebagai efek jera, khususnya kepada pelaku kejahatan yang terbukti secara hukum melakukan kesengajaan dengan tujuan tertentu.

Dalam proses pengawasan produk obat dan makanan hingga sampai ke tangan konsumen diatur dalam ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), hingga cara pelayanan yang baik. Dibutuhkan integritas petugas terkait dalam mengawal kepatuhan sistem tertutup itu, sehingga kecil kemungkinan terjadi permasalahan.

Namun dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, hanya mengatur mengenai tenaga pengawas yang memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan, tidak mengatur secara jelas termasuk tenaga pengawas di bidang obat dan makanan pada jabatan fungsional, seperti, inspektur CPOB, inspektur CDOB, inspektur pangan, penyuluh keamanan pangan, dan evaluator.

Keri Lestari menilai dibutuhkan kepiawaian tim penyidik memilah faktor kesengajaan atau kelalaian dalam suatu kasus di masyarakat. Faktor kesengajaan perlu diganjar dengan sanksi yang berlipat kali lebih berat agar peristiwa serupa tidak terulang.

RUU Pengawasan Obat dan Makanan diharapkan dapat memperkuat posisi BPOM dalam menjalankan tugasnya, salah satunya melakukan pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan yang dilandasi payung hukum yang kuat dalam mewujudkan citra sebagai pelindung masyarakat.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023