Jakarta (ANTARA) - Pada Hari Gizi Nasional ke-63 ini, Indonesia masih sibuk berkutat pada masalah stunting. Cukup panjang perjalanan yang harus ditempuh guna membangun sumber daya manusia yang sehat, produktif dan berdaya saing, karena kompleksnya penyebab stunting yang harus diatasi.

Kini, program percepatan penurunan stunting mulai memasuki tahun ketiga. Waktu pemerintah untuk mewujudkan target sebesar 14 persen di tahun 2024 kian menipis, namun prevalensi stunting menurut SSGI 2022 masih 21,6 persen.

Di bawah kepemimpinan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pemerintah sudah menetapkan jika target sasaran program prioritas nasional tersebut mencakup remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan ibu yang mempunyai anak usia 0-59 bulan.

Berangkat dari penetapan target, pemerintah mulai memberlakukan audit kasus stunting sebagai kegiatan prioritas dalam Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI), yang mampu mengerucutkan faktor penyebab stunting secara mendetail beserta solusi penangannya.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengklaim, audit kasus stunting yang merupakan audit secara klinis tersebut telah membuka berbagai duduk masalah dalam keluarga yang menyebabkan anak mengalami stunting.

Sejak mulai dilakukan pada sekitar bulan April 2022 lalu, diketahui penyebab utama terjadinya stunting pada anak Indonesia berasal dari kurangnya asupan gizi protein hewani.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Plt. Direktur Gizi dan KIA Kemenkes, Ni Made Diah Permata Laksmi. Dalam data Food and Agriculture Organization of The United Nations yang dirilis pada 2019, tingkat konsumsi daging oleh masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Rata-rata kurang dari 40 gram per kapita per minggu, di saat negara lain seperti Australia dan negara di Eropa bisa mencapai lebih dari 160 gram per kapita per minggu.

Hal itu tidak serta merta bisa lepas dari pemberian asupan gizi anak yang saat ini lebih condong memberikan makanan siap saji seperti junk food atau makanan tidak sehat dalam kemasan yang mengandung tinggi gula dan lemak jenuh yang sangat inflamatif.

Sedangkan menurut Hasto, junk food belum tentu memenuhi asupan mikronutrien seorang anak. Mirisnya, banyak keluarga Indonesia terjebak dalam anggapan makanan yang nampak menarik minat anak bisa membuat kenyang dan akhirnya gizi jadi terpenuhi.

“Junk food yang dipromosikan itu, sangat berhitung dengan masalah protein hewani. Ibaratnya kalau bisa sesedikit mungkin dimasukkan dalam olahan ya sesedikit mungkin, katakanlah cilok. Kita tidak tahu kalau diuji apakah benar ada protein hewani ikan atau daging seperti yang dikatakan? Bahayanya, anak terlanjur senang makan tapi hanya dapat karbohidrat rasa protein,” katanya.

Ketua Pengurus Pusat IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, juga berpendapat, junk food mungkin memang mengenyangkan, namun justru membuat banyak remaja terkena obesitas dan diabetes mellitus tipe 2.

Stunting turut diperparah dengan tingginya angka ibu yang mengalami anemia sejak usia remaja. Dalam data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 milik Kementerian Kesehatan, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 persen atau sebanyak tiga hingga empat orang dari 10 remaja dipastikan menderita anemia.

Hasto menilai jika tingginya angka anemia dipicu oleh penerapan diet berlebihan, rendahnya konsumsi tablet tambah darah (TTD) di sekolah dan kurangnya aktivitas fisik sejak usia muda.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Eni Gustina, menambahkan bahwa audit menemukan jika jarak kehamilan dan kelahiran yang terlalu dekat juga mendorong anak berisiko stunting, karena membuat pengasuhan menjadi tidak maksimal. Sementara maraknya kawin dini, juga ikut membuat ibu dan bayi sering berebut zat gizi.

Selain dari sisi kesehatan, rupanya audit kasus menemukan korelasi antara lingkungan tak layak huni dan stunting. Rumah di lingkungan yang kotor, berdesakan dan tidak mempunyai sumber air bersih serta jamban, menyebabkan anak mudah terkena tuberkulosis (TBC).

TBC mampu membuat nafsu makan anak semakin menurun, sehingga baik berat maupun tinggi badannya tidak bertambah maksimal. Keberadaan jamban yang tidak layak, juga memicu anak sering muntah dan sakit perut karena terserang diare.

Terlalu dempetnya rumah antarwarga terkadang juga memicu tercampurnya sumber air bersih dengan feses yang dibuang di tempat lain. Terlebih di beberapa daerah, Buang Air Besar Sembarangan (BABS) masih marak di tengah masyarakat.


Penanganan stunting terpadu

Dari penemuan-penemuan itulah, berbekal rekomendasi dari para ahli di bidangnya dan didukung oleh Pendataan Keluarga 2021 (PK-21) milik BKKBN yang terus dimutakhirkan secara by name by address, pemerintah terus mengencangkan koordinasi dan sinerginya.

Beberapa contoh upaya yang sudah dilakukan misalnya dari Kementerian Kesehatan, yang mendorong percepatan penurunan stunting dengan menggencarkan intervensi spesifik. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan anemia harus diatasi melalui dipastikannya remaja putri di kelas 7 dan 10 mengkonsumsi TTD.

Intervensi spesifik lainnya dijalankan dengan mendekatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas dengan menghidupkan kembali peran posyandu, melalui revitalisasi 300 ribu posyandu yang dilengkapi dengan kader kesehatan yang berkualitas dan alat kesehatan seperti USG dan alat periksa jantung.

“Kita ingin memastikan bahwa ibu dan anak kita terurus dengan baik, alat timbangan yang hanya ada di 10 ribu puskesmas tadi, kita bagi ke 300 ribu posyandu, supaya semua ibu hamil bisa diperiksa dengan USG,” kata Menkes.

Kemenkes juga mendorong pencegahan stunting, melalui Active Case Finding (ACF) Tuberculosis, pemberian imunisasi BCG dan memastikan peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui lima gerakan cegah stunting yakni Aksi Bergizi, Bumil Sehat, Posyandu Aktif, Jambore Kader dan Cegah Stunting itu Penting dan pembuatan Gerakan #AksiBergizi serentak.

Kementerian PUPR juga turun tangan menentukan tiap titik lokasi utama sesuai data PK-21, untuk memberikan bantuan menciptakan lingkungan yang layak dan nyaman ditinggali keluarga.

Penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi akan disesuaikan dengan penyediaan sarana air minum aman melalui uji kualitas air, penyediaan sanitasi untuk berhenti BABS dan perubahan perilaku dengan mengadopsi gaya hidup bersih sehat seperti gerakan cuci tangan pakai sabun.

Perbaikan rumah warga yang semula tidak memiliki ventilasi dan jamban yang baik, maupun tidak berpintu juga sudah dijalankan di sejumlah daerah. Bukti konkretnya terjadi di Kota Belawan, Medan dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di NTT.

Bersama Kementerian Pertanian, pemanfaatan pangan lokal terus digaungkan melalui imbauan makanan yang bisa memenuhi asupan gizi anak tidak hanya harus makanan mahal seperti salmon dan daging.

Penggunaan pangan seperti daun kelor, telur, jagung dan sorgum bisa dijadikan alternatif pemenuhan gizi anak yang disesuaikan dengan hasil panganan lokal di daerah yang berbeda.

Dalam hal ini, BKKBN juga ikut menciptakan Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) dalam memperkenalkan menu makanan sehat, yang didemonstrasikan melalui cara masak yang menarik bersama Tim Pendamping Keluarga (TPK) di kabupaten/kota sesuai dengan kelompok usia anak. Contohnya, pengolahan MPASI halus bagi bayi usia 7 bulan.

Sementara untuk memperbaiki pola pikir dan revolusi asupan gizi di tingkat keluarga, pemerintah melakukan pendekatan keluarga dengan memberikan pendampingan bersama anggota TPK yang merupakan bidan, kader PKK dan kader KB.

Pendampingan yang diberikan TPK tidak hanya berfokus pada gizi keluarga, melainkan edukasi pola pengasuhan yang tepat dan pemantauan kondisi kesehatan keluarga guna mencegah stunting, melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, tinggi dan berat badan hingga lingkar lengan atas bagi calon ibu yang mau hamil.

TPK juga mengajak keluarga untuk memeriksakan kandungan ke fasilitas kesehatan terdekat, dan memantau tumbuh kembang anak secara rutin di posyandu untuk menimbang berat dan tinggi badan, lingkar kepala dan tumbuh kembang anak.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023