Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis gizi dari Universitas Indonesia dr. Marya Haryono, M.Gizi, Sp.GK., FINEM mengatakan permasalahan stunting yang dialami anak dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab, salah satunya karena gerakan tutup mulut (GTM) atau kurangnya nafsu makan.

"GTM biasanya terjadi setelah toodler, karena anaknya sudah tahu cita rasa. Tapi, GTM juga bisa terjadi karena dia terganggu. Kalau bahasa masa kininya itu ter-distract, banyak sekali pengganggunya," ungkap Marya saat dijumpai di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, GTM atau kurangnya nafsu makan tersebut bisa menyebabkan risiko nutrisi bagi anak tidak terpenuhi sehingga kondisi ini harus menjadi perhatian khusus bagi para orang tua.

"Risikonya bisa semua nutrisi tidak terpenuhi. Kalau hanya jangka pendek, mungkin aman-aman saja. Tapi kalau berjalan terus menerus, ditambah tidak mendapat perhatian spesial tentang hal itu, ya jadi dia berisiko bukan hanya stunting tapi juga kesehatan anaknya," ujarnya.

Baca juga: Kemenkes kampanyekan asupan protein hewani untuk cegah stunting

Tak hanya itu, Marya menjelaskan bahwa GTM juga dapat terjadi karena anak mengalami banyak gangguan. Bisa karena gadget, atau mengalami masalah pencernaan yang belum bisa disampaikan oleh anak.

Oleh sebab itu, apabila terjadi GTM dalam jangka waktu panjang, Marya pun menyarankan agar orang tua segera memeriksakan anak ke dokter.

"Penyebabnya multifaktorial. Selain karena ter-distract, bisa juga karena anaknya nggak suka makanannya. Atau ada sesuatu di masalah pencernaan yang mungkin dia belum bisa menyatakan itu apa. Tapi sebenarnya kalau dia makan, dia tidak nyaman. Jadi jika GTM-nya sudah jangka panjang, harus diperiksakan," jelas Marya.

Untuk mengatasinya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengajarkan anak tentang pola yang teratur. Selain itu, orang tua harus makan bersama anak dan membuat suasana makan yang menyenangkan agar anak juga memiliki keinginan sendiri untuk makan.

Baca juga: Indonesia bebas stunting bisa tercapai jika nutrisi 1000 HPK terpenuhi

Pola ini, lanjut dia, juga harus dilakukan dengan sabar dan berkelanjutan, sebab tentunya perlu waktu untuk dapat mengubah kebiasaan anak menjadi teratur saat makan.

"Itu harus terus. Jam makan teratur, makan bersama juga. Supaya anaknya tahu, oh ternyata ibu saya dan ayah saya juga makan. Dan mereka makan makanan yang sehat. Makan sayur, makan lauk yang berprotein. Makan karbohidrat lain, bukan hanya nasi. Jadi dia tahu orang dewasa yang berada di sekitarnya juga makan," imbuhnya.

Tak hanya itu, orang tua juga perlu untuk mengajarkan anak tentang rasa lapar dan kenyang, karena apabila anak tak memiliki sensasi lapar, tentunya hal ini akan berdampak pada kesehatannya. Sebaliknya, tak memiliki sensasi kenyang juga tak baik bagi kesehatan anak.

"Biasanya kita mengatur jangan sampai anaknya nggak punya sensasi lapar. Dia nggak tahu kapan lapar, kapan kenyang. Kalau dia nggak punya rasa lapar, dia kenyang terus. Kadang sampai dikejar-kejar. Sepanjang hari makan saja, sampai nasinya lembek karena bercampur kuah," terang Marya.

Baca juga: Presiden tekankan pentingnya pencegahan stunting sejak masa pra-nikah

Baca juga: Publik figur: Ilmu dari posyandu cegah anak konsumsi makanan tak sehat

Baca juga: Kepala BKKBN: Jajanan menarik belum tentu penuhi gizi anak

 

Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2023