Jakarta (ANTARA) -
Maraknya tren jualan online saat ini ternyata tidak menjadi batu loncatan yang cukup menjanjikan bagi sebagian pedagang. Seperti penjualan batik milik Maulana, yang diakuinya menurun meskipun sering melakukan live di aplikasi TikTok.
 
"Kalau sekarang paling maksimal selama satu bulan ini 20-25 yang checkout, dulu minimal 40, paling banyak 230 sekali live," ucapnya saat ditemui di toko batik miliknya di Thamrin City, Jakarta.
 
Ia menyebut penurunan pembeli melalui akun TikTok terjadi karena status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah dihilangkan sehingga masyarakat kembali datang ke toko, atau memesan lewat WhatsApp bagi pelanggan yang sudah menjadi langganan.
 
Selain itu, tokonya sempat mendapat pelanggaran akibat komentar negatif pelanggan karena warna yang tidak sesuai dengan pesanan.

Baca juga: Transformasi digital UMKM bukan sekadar buka toko "online"
 
Sebelumnya, ia mengaku mulai beralih berjualan di TikTok sejak Februari 2022 saat PPKM level tiga. Saat itu, Thamrin City dikatakannya sangat sepi sehingga demi memutar uang, ia mencoba peruntungan di media sosial tersebut.

Pendapatan dari live di TikTok, menurut dia, bisa meraup untung yang besar. Bahkan dalam sekali live, ia pernah mengundang 1,5 juta penonton dan menjadi trending di aplikasi TikTok.
 
"Dapet bisa Rp30 juta, sekarang nyari Rp5 juta aja ngos-ngosan," ucapnya.
 
Namun belakangan ini, penonton live TikTok, tambah dia, hanya mencapai 1.000 sampai 3.000 saja. Dan selama sebulan terakhir pun hanya 20 hingga 25 pelanggan yang memesan.
 
Menurut dia, terdapat risiko berjualan di online yaitu pelanggan akan menulis ulasan negatif jika produk tidak sesuai ekspektasi dan bisa menurunkan reputasi toko, dibanding jika datang langsung ke toko dan bisa melihat sendiri produk secara utuh.

Baca juga: Kemenkominfo dampingi UMKM adopsi teknologi digital
 
"Paling enak sebenarnya offline, orang datang kan lihat kualitas barangnya, kalau online digambar, difoto efek kamera, efek lampu kan nanti dia komen sisi negatif kita yang kena pelanggaran, misal warna navy dia bilang hitam," ucap Maulana.
 
Maulana mengaku ditawari imbalan iklan di TikTok untuk menaikkan penonton, tetapi harganya cukup mahal, sehingga ia memilih untuk berusaha sendiri sambil berjualan live setiap hari dengan jadwal pagi dan sore.
 
Hal yang sama juga diakui Deby Sinta, pemilik toko perlengkapan bayi di ITC Fatmawati yang mencoba peruntungan menerapkan jualan online karena rutinitas pelanggan datang ke toko berhenti total sejak pandemi.
 
Namun pendapatan yang diperoleh melalui online sudah tidak signifikan seperti yang diharapkan.

Baca juga: KSP: Pengembangan UMKM tidak berhenti pada kemudahan urus izin usaha
 
"Kalau di saya offline pendapatannya masih oke, online kan benar-benar pas pandemi baru mulai, mungkin juga rating-nya tidak tinggi jadi orderan belum banyak," ucapnya.
 
Ia mengatakan pelanggan masih sering membandingkan harga di toko luring dan daring. Menurut dia, banyak pelanggan yang datang langsung ke toko tidak keberatan dengan harga yang ditawarkan meski ada yang lebih murah di layanan daring.
 
Selain itu, ia menilai berjualan offline lebih mudah karena bisa berinteraksi dengan pelanggan dan menjelaskan produk secara langsung.

"Lebih gampang jual offline sih kalau saya, kan kita ngobrol jadi customer juga tahu apa yang dibeli, kalau online belinya pakai foto saja tahu-tahu barangnya tidak sesuai imajinasi nanti kita dikasih bintang satu," ucap Sinta.
 
Selain menggunakan e-commerce seperti Tokopedia dan sosial media Instagram, Facebook dan TikTok, ia juga melayani pemesanan via WhatsApp untuk pelanggan lama yang sering berbelanja di tokonya.

Baca juga: Presiden Jokowi ajak UMKM manfaatkan aplikasi daring dongkrak omzet

Baca juga: Platform lokal jadi favorit pedagang online

Baca juga: Empat tips bagi UMKM yang ingin "go digital"

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2023