Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara di UNS Agus Riewanto menyatakan bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum.

"Dalam perspektif hukum tata negara, lebih baik pemerintah berjalan meski aturannya salah ketimbang tidak ada aturan,” ucap Riewanto pada webinar nasional Moya Institute bersama Narada Center dan ITB-Ahmad Dahlan bertajuk Perppu Cipta Kerja dan Antisipasi Resesi Global, dipantau dari kanal YouTube Moya Institute, di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, UU Ciptaker dinyatakan Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat pada 2021 dan harus diperbaiki hingga 2 tahun ke depan. Pada akhir 2022, Presiden Joko Widodo mengesahkan Perppu Ciptaker tersebut demi menghadapi resesi global.

Menurut Riewanto, putusan inkonstitusional bersyarat itu berarti UU Ciptaker bermasalah pada cara pembuatannya saja, namun substansinya tetap dianggap perlu.

Tanpa Perppu Ciptaker, pemerintah justru dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan karena bekerja tanpa dasar hukum.

“Perppu itu untuk memberikan kepastian pemerintah bisa bekerja berdasarkan hukum. Kalau tidak ada maka abuse of power," ucapnya menambahkan.

Pendapat senada dilontarkan Rektor ITB Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkanna.

Ia mengungkapkan, secara substansi, Perppu Ciptaker yang diterbitkan Jokowi punya tujuan yang sama dengan UU Ciptaker, yaitu memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran, serta terutama menyasar masuknya investasi.

Mukhaer berpendapat bahwa definisi "kegentingan memaksa" yang menjadi landasan diterbitkannya Perppu dapat ditentukan oleh Joko Widodo sebagai subjektivitas presiden.

Hal ini didukung oleh hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa tingkat kepuasan kinerja presiden untuk mengatasi ancaman resesi global, salah satunya lewat Perppu Ciptaker, mencapai 60 persen.

"Berdasarkan survei, tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan Jokowi mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi masih terbilang tinggi, mencapai 75 persen," ujar Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas.

Survei yang sama juga menemukan bahwa dari 22 persen responden yang mengetahui penerbitan Perppu Ciptaker dan ancaman resesi global, sebanyak 51 persen di antaranya setuju kehadiran regulasi tersebut.

Baca juga: Presiden Jokowi: Pencabutan PPKM dan Perpu Ciptaker tidak terkait
Baca juga: Inti regulasi komunikasi dan informatika tak diubah di Perpu Ciptaker
Baca juga: Perpu Ciptaker buka kemudahan dan perlindungan koperasi dan UMKM

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023