Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut bahwa minat untuk mempelajari dan mendalami penyakit kusta di kalangan tenaga kesehatan (nakes) masih terbilang minim.

“Mengurusi kusta itu memang sumber daya manusianya agak susah, nakes yang memiliki minat untuk mengurusi kusta susah untuk regenerasinya,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam Temu Media NTD’s Day atau Hari Penyakit Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Diseases) yang diikuti di Jakarta, Senin.

Baca juga: Dinkes Ambon target eliminasi kusta di tahun 2032

Menanggapi kurangnya nakes yang mengobati kusta, Imran menuturkan bahwa sulitnya menumbuhkan minat nakes pada kusta dikarenakan banyak dokter muda yang belum pernah melihat secara langsung tubuh penderita kusta.

Hal tersebut juga terjadi pada Imran, di mana hingga kini dirinya belum pernah melihat pasien dengan penyakit frambusia, yakni penderitanya mengalami infeksi kulit, yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum pertenue.

“Masalah kusta itu memang sepertinya kurang seksi untuk dibahas, makanya perlu kita lakukan sosialisasi agar banyak yang tahu kusta masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia,” ujarnya.

Baca juga: UI berdayakan warga eks penderita kusta berkelanjutan di Tangerang

Hal lain yang menyebabkan kurangnya minat nakes pada kusta adalah meski Indonesia merupakan negara tropik, penyebaran kasus kusta tidak merata. Ia mencontohkan di Jakarta kusta jarang ditemui, namun di Madura, Jawa Timur penderita kusta banyak bisa ditemukan.

“Kalau di Madura, banyak nakesnya sampai di puskesmas pun tahu. Tapi semakin lama nakesnya bertambah senior, belum tentu yang bawahnya memiliki minat yang sama,” ucap Imran.

Baca juga: Hoaks! Cacar monyet sama dengan penyakit kusta

Menurut Imran, Kemenkes sudah menyadari permasalahan tersebut dan menindaklanjuti dengan memastikan pengelolaan program kusta di semua daerah harus berjalan, sehingga terdapat nakes yang bisa membantu masyarakat sembuh dari kusta.

Kemenkes juga memperkuat pelaporan kasus melalui surveilans di seluruh pelosok negeri. Tujuannya untuk memastikan setiap nakes di daerah endemis, selalu memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang sudah ditentukan.

Pembekalan ilmu pengetahuan dan training pun turut diberikan pada nakes sebelum bertugas.

“Peringatan Hari NTD ini sebenarnya salah satu cara untuk membuat kita tergugah. Dengan mengetahui cukup banyak, mereka tahu dan para nakes bisa tergugah karena merasa pekerjaannya diakui. Saya kira itu penting supaya regenerasinya ada,” katanya.

Baca juga: Akademisi dorong mahasiswa berperan bebaskan Indonesia dari kusta

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin RSCM Sri Linuwih SW Menaldi menambahkan di daerah, sebenarnya banyak kader kesehatan yang peduli dan empat terhadap penderita kusta yang dikucilkan, menjadi cacat dan tidak produktif.

Namun pemerintah berupaya menularkan minat tersebut, lewat keterlibatan fakultas kedokteran dari sekitar 92 universitas hingga 2023 awal ini untuk diberikan ilmu terkait kusta, agar begitu nakes praktik di daerah dapat mengenali penyakit tersebut.

Baca juga: Wamenkes ingin kampanye hapus stigma kusta dikemas kekinian dan viral

Meski pada akhirnya para lulusan memilih spesialisnya sendiri, Sri menyatakan itu merupakan upaya menciptakan tenaga kesehatan strategis untuk membantu pemerintah mengeliminasi kusta yang berbasis keilmuan dan berkesinambungan.

“Kita ingin bekali di Indonesia itu penyakit infeksi tropis banyak diminati oleh orang-orang di negara Eropa. Mereka maunya belajar di kita, sayang sekali kalau tidak kita dalami,” kata Sri.

Baca juga: Kemenkes temukan 7.201 penyakit kusta baru sepanjang 2021
Baca juga: Prevalensi kusta pada anak Indonesia 9,14 persen


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2023