Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022 Indonesia tidak akan memengaruhi investor untuk berinvestasi di dalam negeri.

"Bahwa itu akan memengaruhi investasi di Indonesia saya kira tidak," kata Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.

Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers untuk menanggapi penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Ketua KPK Firli Bahuri, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

Berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan "Corruption Perception Index" (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 melorot 4 poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021 atau berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei. Pada 2021 skor IPK Indonesia 38 dengan peringkat 96.

"Karena investor yang dihitung kan untungnya gede atau enggak, IRR ("internal rate of return")-nya berapa, biasanya seperti itu tapi bahwa itu sedikit memengaruhi, iya," tambah Presiden.

IRR adalah perhitungan untuk mengukur tingkat pengembalian modal sendiri yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha atau dengan kata lain perhitungan untuk mengetahui tingkat efisiensi dari sebuah investasi.

"Ini sudah kita rapatkan dua kali, akan jadi koreksi dari pemerintah untuk memperbaikinya," ungkap Presiden.

Presiden mengakui bahwa berbagai indeks pengukuran soal Indonesia dijadikan masukan pemerintah.

"Indeks Persepsi Korupsi menjadi masukan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memperbaiki diri. Untuk itu, saya mengingatkan kembali untuk seluruh jajaran pemerintahan di pusat dan daerah agar memperbaiki sistem administrasi pemerintahan dan sistem pelayanan publik yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas," tambah Presiden.

IPK mengacu pada 8 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia, yaitu "Political Risk Service" (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun dari 48 menjadi 35, IMD World Competitiveness Yearbook" (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun 5 poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun dari 32 menjadi 29.

Baca juga: Presiden Jokowi: Buronan korupsi pasti ditemukan
Baca juga: Jokowi: Saya tidak akan pernah sedikit pun toleransi pelaku korupsi


Sementara tiga indeks yang stagnan adalah "Global Insight Country Risk Ratings" (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, "Bertelsmann Foundation Transformation Index" (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) di skor 33 dan "Economist Intelligence Unit Country Ratings" (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap di skor 37.

Selanjutnya, ada dua indeks yang naik yaitu "World Justice Project – Rule of Law Index" (pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi) skornya naik 1 menjadi 24 dari 23, dan "Varieties of Democracy" (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang mempengaruhi kebijakan publik) naik 2 poin menjadi 24 dari 22.

Berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi. Indonesia dihadapkan pada pilihan apakah benar-benar mencari investor yang berasal dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau investor mana saja yang penting memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi.

Analisis kedua, dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan karena masih ditemukan jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentinigan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia mengalami risiko kerugian materiil dan risiko politik saat berbisnis.

Analisis ketiga dari indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi karena masih ditemukan praktik korupsi di lembaga penegakan hukum.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023