Jangan lebih dari satu bulan
Jakarta (ANTARA) - Insan pers Indonesia baru saja merayakan hajat besarnya dalam momentum Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari lalu.

Dalam seremoni perayaan HPN itu, Presiden Joko Widodo menyinggung terkait pengajuan izin prakarsa untuk Peraturan Presiden tentang Kerjasama Perusahaan Platform Digital dan Perusahaan Pers Mendukung Jurnalisme Berkualitas.

Bahkan, Presiden Jokowi menjanjikan perpres mengenai hal tersebut harus sudah selesai bulan ini. "Jangan lebih dari satu bulan," kata Presiden menegaskan.

Peraturan yang diminta untuk diselesaikan itu lebih awam dikenal dengan nama Perpres Publisher Rights atau Hak Penerbit.

Langkah pemerintah ini menjadi angin segar bagi perusahaan-perusahaan media mengingat sudah dua tahun lamanya draf Hak Penerbit itu disiapkan.

Regulasi tersebut sebenarnya sudah cukup banyak diadopsi negara-negara lain seperti Australia dengan nama News Media Bargaining Code, lalu Korea menamainya dengan Telecommunication Business Act.

Secara garis besar regulasi-regulasi itu mengatur platform digital seperti Google hingga Meta agar memberikan remunerasi kepada media untuk setiap konten berita yang didistribusikan lewat layanan mereka.

Kali ini di Indonesia akhirnya perusahaan-perusahaan pers berkesempatan untuk mewujudkan hal serupa. Lantaran langkah pemerintah ini menerbitkan perpres ini akan memberikan payung hukum baru dan diharapkan bisa menciptakan keseimbangan baru di ekosistem perusahaan pers masa kini.

Baca juga: Merunut awal mula lahirnya regulasi Publisher Right

Keseimbangan

Satu fokus yang sama di semua negara yang mendorong hadirnya Publisher Rights adalah adanya bisnis yang lebih berimbang antara platform digital dan media sebagai penyedia konten.

Harapan itu muncul berkaca dari praktik yang tidak setara dalam hal penyajian konten-konten yang dibuat oleh media.

Kita ambil contoh nyata di Indonesia, dalam data yang dihimpun tim pembentukan regulasi Hak Penerbit terungkap bahwa platform digital khususnya Google dan Meta saat ini mengambil porsi 80 persen sebagai saluran distribusi berita yang dihasilkan media.

Kedua perusahaan raksasa teknologi global itu tentunya mendominasi periklanan digital dengan persentase 75 persen, padahal iklan menjadi salah satu unsur bisnis penting bagi industri media.

Di samping itu, dalam laporan yang sama juga ditemukan fakta bahwa kedua platform digital itu relatif tertutup terhadap data perilaku masyarakat sebagai konsumen konten dari media.

Padahal data-data tersebut pada dasarnya didapatkan juga dari kumpulan konten yang disuguhkan oleh media.

Di tengah kondisi yang dinilai tidak adil itu, luar biasanya industri media tetap saja sangat bergantung pada platform digital.

Mulai dari distribusi, jenis konten, bahkan informasi yang dihadirkan hampir bisa dipastikan seluruh media mengacu pada algoritma dan tren yang disuguhkan oleh para platform digital.

Memang tak bisa dipungkiri peran teknologi kecerdasan buatan yang dimiliki platform digital telah membantu para insan pers mengekspresikan karya dan menyajikan fakta menjadi lebih menarik dari era-era sebelum munculnya internet.

Seperti diungkap dalam buku “Media Today:Mass Communication in a Converging World” karya Joseph Turrow, era internet menghadirkan konvergensi yang tak terbantahkan bagi media.

Baca juga: Media harus miliki kemandirian untuk jaga keberlanjutan bisnis

Copyright © ANTARA 2023