Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memanggil Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, Menko Polhukam, Widodo AS, dan Menag, Maftuh Basyuni, guna membicarakan semua kemungkinan terkait dengan mantan Presiden Soeharto. Namun, Wapres Jusuf Kalla tidak merinci apa isi pembicaraan Kepala Negara dengan ketiga pejabat tinggi negara dalam penjelasannya kepada pers di Jakarta, Jumat. Terkait dengan kondisi Soeharto, ia mengemukakan, Presiden Yudhoyono dan dirinya sangat prihatin dengan kondisi kesehatan mantan orang kuat rezim Orde Baru yang sejak 4 Mei lalu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta itu. "Presiden dan saya sendiri prihatin dengan kondisi Pak Harto dan (kami) mendoakan semoga kesehatan beliau semakin baik. Dari segi hukum, keputusan pemerintah (melalui Jaksa Agung yang mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)red.) sebenarnya sudah sesuai dengan hukum," katanya. SKPP itu pun sudah sesuai dengan keputusan pengadilan di mana kasus Pak Harto tidak bisa dilanjutkan karena sakit. "Itu pertimbangan hukum, bukan pertimbangan politik. Kita harus pahami hal itu. Pemerintah konsisten terhadap jalur hukum," kata Wapres Jusuf Kalla. Menurut dia, siapapun tidak bisa diproses melalui pengadilan jika mereka benar-benar sakit. Dalam konteks itu, pemerintah menempatkan posisi Soeharto tanpa dasar emosi. "Kita boleh suka atau tidak suka kepada Pak Harto, tetapi posisinya seperti itu (sakit) dan pemerintah taat azas tentang hal itu." Mengenai istilah "mengendapkan" yang digunakan Presiden Yudhoyono dalam pernyataannya baru-baru ini, Jusuf Kalla mengatakan "yang diendapkan itu adalah fikiran-fikiran dan saran-saran antara lain soal rehabilitasi dan sebagainya." "Setelah diendapkan, difikirkan dan didiskusikan, apanya yang perlu direhabilitasi? Kan Pak Harto tidak dalam posisi divonis. Kalau direhabiltasi, orang akan bertambah bingung," katanya. Karena itu, pemerintah melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memutuskan untuk mengeluarkan SKPP dan perkaranya tidak dilanjutkan karena yang bersangkutan sakit, katanya. Kasus dugaan korupsi Soeharto Menjawab pertanyaan tentang TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Wapres mengatakan masalah Tap MPR-RI itu bukan haknya presiden dan presiden tidak bisa mengintervensinya. Terkait dengan kasus dugaan korupsi Soeharto di sejumlah yayasan, Wapres menyatakan pernyataan resmi Soeharto ketika itu adalah bahwa pengelolaan yayasan-yayasan tersebut dialihkan kepada pemerintah. Keputusan itu sudah pula ada sejak era presiden Habibie. "Pak Habibie sudah membuat Keputusan Presiden bahwa yayasan-yayasan itu berada di bawah Menko Kesra. Jadi sekarang, tinggal ditata kembali, karena itu (isi) pernyataan resmi Pak Harto pada waktu itu," katanya. "Pak Harto sudah menyerahkan pengelolaan dan pengawasan yayasan kepada pemerintah. Menurut dia, yayasan-yayasan tersebut tetap berjalan untuk umum, seperti memberikan beasiswa dan membuat masjid namun pengelolaannya dilaksanakan dan diawasi pemerintah sesuai dengan Keppres yang dikeluarkan mantan presiden Habibie," kata Jusuf Kalla menambahkan. Mantan Presiden Soeharto yang lahir di Desa Kemusuk, Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1921 itu dirawat di RSPP sejak 4 Mei 2006 lalu dan telah menjalani operasi usus. Dua hari sebelum masuk RSPP, dia sempat bertemu sahabat lamanya, mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad, di kediamannya Jalan Cendana. Beberapa waktu sebelumnya Soeharto juga sempat menghadiri perayaan pernikahan cucunya, Gendis Trihatmodjo, putri dari Bambang Trihatmojo di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kasus dugaan korupsi mantan orang kuat rezim Orde Baru itu mulai terkuak pada 1 September 1998 ketika Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dari anggaran dasar lembaga tersebut. Pada 7 Desember 1998, di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung (saat itu) mengungkapkan hasil pemeriksaan atas Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung saat itu juga mengungkapkan penemuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp24 miliar, Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana. Pada 28 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan SKPP yang isinya menghentikan penuntutan kasus dugaan korupsi Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. Sesuai pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa yang dalam keadaan tidak sehat maka tidak bisa diajukan ke persidangan. Dengan terbitnya SKPP itu, status proses hukum Soeharto dinyatakan final dan penguasa Orde Baru itu bebas dari status "terdakwa"; kecuali bila ditemukan alasan berupa kesembuhan penyakit Soeharto barulah dia dapat diajukan ke persidangan lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2006