Jakarta (ANTARA) - Tanggal 24 Februari 2022 menjadi awal dimulainya invasi Rusia di Ukraina. Saat itu, Ukraina menyebut serangan Rusia diluncurkan dari Krimea, sebuah wilayah Ukraina yang dicaplok Rusia pada 2014.

Serangan juga dilakukan terhadap unit penjaga perbatasan dan pos pemeriksaan dengan menggunakan artileri, perangkat keras militer dan senjata kecil lainnya di sejumlah wilayah Ukraina seperti Luhansk, Sumy, Kharkiv, Chernihiv dan Zhytomyr.

Kiev mengatakan Moskow meluncurkan serangan berskala penuh terhadap Ukraina dan pusat-pusat komando militer di sejumlah kota juga dihantam rudal.

Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin, melalui pidato khusus yang disiarkan stasiun TV pemerintah Rusia mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai pilihan selain membentengi diri terhadap apa yang mereka sebut sebagai ancaman dari Ukraina modern.

Dia juga mengatakan bahwa Moskow akan berusaha melakukan demiliterisasi dan 'de-Nazi-fikasi' Ukraina.

Satu tahun berlalu, Ukraina masih terus berjuang melawan agresi Rusia, yang pada awalnya menyangka invasinya akan dapat merebut Ukraina dalam hitungan hari.

Faktanya, Ukraina masih terus bertahan dan bahkan berhasil membebaskan lebih dari separuh wilayah yang direbut oleh pasukan Rusia, termasuk kemenangan strategis utama di Kharkhiv dan Kherson.

Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa peperangan diduga telah menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan luka-luka, dengan sekitar 15 juta orang lainnya terpaksa mengungsi.

"Satu tahun invasi Rusia di Ukraina kemungkinan telah menyebabkan sekitar 15 juta orang Ukraina mengungsi, dengan ratusan ribu orang lainnya telah tewas dan cedera," kata Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin, Jakarta, Kamis.

Sementara itu, peperangan juga telah menyebabkan puluhan ribu bangunan apartemen roboh, dengan ribuan rumah sakit, sekolah, gereja, dan fasilitas umum lainnya juga runtuh.

Selain itu, ekonomi Ukraina juga mengalami kerugian yang sangat besar karena mereka tidak bisa mengekspor biji-bijian yang mereka hasilkan dan semua produk makanan yang mereka produksi.

Dampak global

Selain menimbulkan dampak yang luar biasa besar terhadap perekonomian dan kehidupan rakyat Ukraina, invasi Rusia di negara itu juga telah menimbulkan dampak terhadap masyarakat global.

"Invasi Rusia telah mengganggu upaya pemulihan akibat pandemi COVID-19. Serangan tersebut menyebabkan pertumbuhan di hampir seluruh negara di dunia merosot tajam," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket dalam sebuah diskusi publik secara daring, Senin (21/2).

Peperangan tersebut menimbulkan dampak yang bahkan lebih besar terutama di negara-negara miskin di dunia, seperti di Afrika, yang mengalami krisis akibat inflasi.

Banyak negara di Eropa tidak menyangka invasi akan terjadi di era modern seperti saat ini.

Serangan tersebut dengan jelas melanggar prinsip dasar di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta melanggar kedaulatan teritorial negara dan kelangsungan hidup di dalamnya.

"Dan tentu saja ini memberikan dampak besar terhadap keamanan bagi banyak negara dan juga warga negaranya," kata Vincent.

Sementara itu, jurnalis Kompas Kris Mada menyebutkan bahwa berdasarkan sebuah riset 80 persen dari 116 negara akan menjadi rawan pangan atau kelaparan akibat perang antara Rusia dan Ukraina.

Jika perang terus berlanjut, ia menyebutkan akan ada 114 juta orang baru yang berstatus sangat miskin. "Itu artinya untuk makan satu kali dalam sehari saja sudah kesulitan," katanya.

Di Indonesia, peperangan tersebut juga berdampak pada pergantian harga pangan.

"Roti harganya sudah naik 30 persen sejak perang berlangsung," katanya.

Pergantian harga tersebut menurut dia akan terus terjadi selama perang terus berlanjut karena Indonesia merupakan importir gandum.

Demikian juga di negara-negara lain di dunia, bahwa perang yang masih terus terjadi di Ukraina akan memberikan dampak yang semakin besar terhadap perekonomian banyak negara.

Dukungan

Majelis Umum PBB pada Kamis (23/2) mengumpulkan banyak suara untuk mendesak Rusia menarik pasukannya dari Ukraina dalam resolusi yang disahkan sehari sebelum peringatan 1 tahun invasi Rusia ke negara tetangganya.

Resolusi itu diadopsi pada sidang darurat khusus dari Majelis Umum PBB.

Dari 193 anggota PBB, sebanyak 141 anggota, termasuk Jepang, memilih untuk mendukung resolusi tersebut. Sementara 7 negara menentang, dan 32 lainnya abstain.

Dokumen resolusi setebal tiga halaman itu menuntut Rusia untuk "segera, sepenuhnya, dan tanpa syarat" menarik pasukannya dari Ukraina dan menyesalkan tingginya jumlah korban sipil, termasuk wanita dan anak-anak, sejak dimulainya invasi Rusia pada 24 Februari 2022.

Resolusi PBB itu menyerukan "perdamaian yang adil, berkelanjutan, dan abadi" di Ukraina dan menuntut agar mereka yang telah melakukan kejahatan perang dalam konflik dimintai pertanggungjawaban.

Resolusi itu juga "menyerukan penghentian segera serangan terhadap infrastruktur kritis Ukraina dan semua serangan yang disengaja terhadap objek sipil, termasuk tempat tinggal, sekolah, dan rumah sakit."

Negara-negara anggota PBB "menegaskan kembali dukungan tegas mereka (untuk) integritas dan kedaulatan teritorial Ukraina," kata Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba kepada wartawan setelah pemungutan suara di Majelis Umum PBB.

Selain dukungan di PBB, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, Kamis (23/2), juga mengatakan akan memberikan bantuan tambahan keamanan senilai dua miliar dolar AS (sekitar Rp30,47 triliun) untuk Ukraina.

Sementara Uni Eropa, Dubes Vincent Piket menyampaikan tekad negara-negara anggotanya untuk terus mendukung perjuangan Ukraina.

Ia menyebutkan bahwa bantuan kemanusiaan senilai 25 miliar euro (sekitar Rp) telah diberikan untuk Ukraina. Kemudian, selain bantuan militer, mereka juga telah membuka perbatasan mereka untuk pengungsi Ukraina.

"4,5 juta warga Ukraina telah mengungsi ke (negara-negara anggota) Uni Eropa. Ini juga kontribusi besar dan bentuk pernyataan solidaritas dari rakyat Eropa," katanya.

Demikian juga Inggris, yang juga berkomitmen untuk terus membela Ukraina melalui dukungan militer dan upaya diplomatik untuk menciptakan perubahan yang menentukan di medan perang sehingga perdamaian abadi sesegera mungkin dapat diwujudkan.

"Sebagai bangsa kita memberikan penghormatan terhadap keberanian dan ketangguhan yang luar biasa dari rakyat Ukraina," demikian kata Perdana Menteri Inggris Toshiba Sunak, Jumat (24/2).

Akhir perang

Dengan banyaknya dukungan yang diberikan oleh negara-negara di dunia terhadap Ukraina, Dubes Vasyl Hamianin optimistis bahwa Ukraina akan dapat memenangkan perang melawan Rusia.

Ia juga mengapresiasi berbagai upaya dan strategi yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian melalui berbagai negosiasi.

Ukraina sangat berharap perang dapat segera berakhir. Mereka juga bersedia untuk duduk bersama dengan Rusia dengan syarat Rusia harus menarik semua pasukannya dari wilayah mereka.

Namun demikian, Vasyl juga menegaskan bahwa negosiasi tidak akan dapat terwujud jika serangan Rusia terus dilakukan sementara Ukraina juga diminta untuk menyerah.

"Kami tidak siap untuk menyerah. Kami tidak siap untuk menyerahkan kedaulatan kami, wilayah kami, dan Ukraina juga tidak siap untuk menyerahkan identitas kami," katanya.

"Kami adalah negara yang berdaulat dan kami akan melindungi negara kami sampai akhir hayat kami."

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023