Qingdao (ANTARA) -  "Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri".

Mungkin pepatah ini tidak berlaku bagi Jal dan kawan-kawan ketika sedang menikmati gemerincing Yuan yang mengalir deras ke pundi-pundinya.

Hidup di negeri orang jauh lebih menjanjikan dibandingkan di negeri sendiri, meskipun jauh dari keluarga dan sanak saudara.

Oleh karena itu, seberapa terjal jalan menuju negeri seberang, mereka lalui tanpa mempertimbangkan risiko yang bakal dihadapi karena tekad memperbaiki nasib telah membaja.

"Saya tidak menyangka kalau harus berakhir di sini," kata pria kelahiran Lombok, Nusa Tenggara Barat, 42 tahun silam itu kepadfa Antara.

Jal bersama dengan enam rekannya yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, yakni Il, Ham, Nur, Sya, EDJ, dan EDS, kini harus meringkuk di balik dinginnya jeruji penjara yang jauh di pinggiran Qingdao.

Di Qingdao, kota wisata yang sangat populer di pesisir timur daratan Tiongkok, pada November 2022, langkah mereka mengais rezeki harus terhenti.

Semula, mereka bekerja di salah satu pabrik plastik dengan upah antara 6.000 hingga 7.000 Yuan atau setara dengan Rp13,3 juta hingga Rp15,5 juta per bulan.

Nur, pria berusia 36 tahun asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu diantar seorang agen lokal untuk bekerja di pabrik plastik.

Di pabrik plastik di kota yang identik dengan penghasil bir kenamaan di China itulah, Nur mengenal keenam rekannya yang berasal dari Lombok dan Cirebon, Jawa Barat.

Sebelumnya mereka tidak saling mengenal karena jalur yang mereka lalui dalam merambah China daratan juga berbeda, meskipun berasal dari satu agen pengerah tenaga kerja di Indonesia yang bekerja sama dengan agen lokal.

Nur mengisahkan awal masuk ke wilayah China daratan pada tahun 2017, masuk lewat Vietnam, sementara pekerja lainnya ada yang melalui jalur lain lagi.

Saat itu dia juga tidak merasa ada yang janggal atau ada yang salah, padahal di paspornya tidak ada stempel imigrasi lazimnya pelaku perjalanan internasional yang baru saja tiba di China daratan.

Awalnya dia tidak tahu negara mana yang menjadi tempat tujuan untuk bekerja. Yang dia ketahui adalah bagaimana segera meninggalkan Indonesia agar bisa bekerja di luar negeri karena utang dan tabungannya senilai Rp25 juta telah terkuras habis untuk mengurus segara keperluan.

Saat diperintahkan berangkat ke Vietnam, Nur bersama Il menjalankannya tanpa banyak tanya.

Sesampai di Vietnam itulah, mereka mendapatkan visa masuk China,. Il yang mengaku tidak tahu-menahu tentang jenis visa yang ditempel di paspornya oleh pihak Kedutaan China di Vietnam itu.

Di Vietnam sudah ada orang yang menjemputnya. Bersama dengan beberapa pekerja ilegal lainnya dari berbagai negara, Nur dan Il naik bus menuju China.

Mereka tidak langsung bekerja di pabrik plastik di Qingdao, tapi berkeliling dulu ke sejumlah pabrik di wilayah selatan, tengah, dan timur daratan Tiongkok.

Apesnya, baru dua bulan bekerja, ketujuh pekerja ilegal asal Indonesia itu tertangkap oleh petugas kepolisian saat sedang bekerja di pabrik plastik itu pada 17 Januari 2023.

Aparat kepolisian Kota Qingdao langsung menjebloskan mereka ke penjara yang sangat jauh dari pusat keramaian di Distrik Jimo karena mereka tidak mampu menunjukkan dokumen resmi sebagai tenaga kerja asing di China.

Visa yang mereka kantongi juga telah lama habis masa berlakunya, sehingga mereka terjerat dua pasal pelanggaran sekaligus, yakni bekerja secara ilegal dan izin tinggal yang melewati batas waktu.
Tim Kedutaan Besar RI di Beijing memberikan pelayanan keimigrasian kepada para warga negara Indonesia yang sedang menjalani proses hukum di kompleks penjara Kota Qingdao, Provinsi Shandong, China, Sabtu (25/2/2023). Pelayanan tersebut diberikan atas fasilitas aparat kepolisian setempat untuk memudahkan pemulangan WNI bermasalah. ANTARA/M. Irfan Ilmie

Bantuan Keimigrasian

Mereka terlihat semringah dan tidak ada tanda-tanda kesedihan yang tergambar di raut mukanya manakala tim dari Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Beijing mendatangi mereka di tempat penahanan pada Sabtu (25/2/2023).

Pemandangan angker di luar kompleks penjara juga tidak terlihat di dalam sel. Petugas penjagaan penjara Jimo dan polisi Qingdao yang mendampingi tim KBRI Beijing pada siang itu juga tampak ramah kepada para tahanan dari kalangan pekerja ilegal Indonesia itu.

Bahkan mereka juga turut membantu merapikan rompi berwarna oranye yang dikenakan para tahanan saat hendak foto diri untuk keperluan dokumentasi keimigrasian. Selesai foto, para petugas juga membagikan masker kepada mereka.

Meskipun tersekat oleh jeruji besi yang kokoh dan kuat, jalinan komunikasi antara mereka dengan tim KBRI Beijing yang dipimpin Atase Imigrasi Raden Fitri Saptaji tetap lancar.

Mereka pun menceritakan tidak ada masalah yang berarti selama hampir dua bulan menjalani masa penahanan di penjara Jimo.

Semuanya baik-baik saja. Malah di penjara ini mereka dilatih disiplin, mulai bangun tidur sampai malam menjelang tidur.

Kebutuhan makan pun dipenuhi tiga kali dalam sehari setiap pukul 08.00, 12.00, dan 17.00 waktu setempat, dengan menu sesuai permintaan mereka sebagai penganut agama Islam.

Bagaimana pun terjaminnya kehidupan sehari-hari dengan fasilitas yang memadai, tinggal di dalam penjara tetaplah menderita karena ruang gerak yang serba terbatas, apalagi penjaranya jauh di seberang sana.
Atase Imigrasi KBRI Beijing Raden Fitri Saptaji berdialog dengan sejumlah warga negara Indonesia yang sedang menjalani proses hukum di kompleks penjara Kota Qingdao, Provinsi Shandong, China, Sabtu (25/2/2023). KBRI Beijing memberikan pelayanan keimigrasian atas fasilitas aparat kepolisian setempat untuk memudahkan pemulangan WNI bermasalah. ANTARA/M. Irfan Ilmie

Namun kedatangan tim KBRI Beijing ke penjara Jimo pada siang itu seakan menjadi pertanda bahwa penderitaan mereka akan segera berakhir.

Tim KBRI Beijing datang ke penjara Jimo setelah mendapatkan laporan dari Kantor Exit-Permit Kota Qingdao, Provinsi Shandong, bahwa ketujuh pekerja ilegal tersebut bisa dipulangkan ke Indonesia, asalkan mendapatkan dokumen keimigrasian, seperti paspor atau Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).

Dari ketujuh pekerja ilegal asal Indonesia itu, hanya EDJ dan EDS yang paspornya masih berlaku, sehingga tim KBRI Beijing hanya memproses lima orang.

Kesediaan Atase Imigrasi KBRI Beijing dan staf menempuh perjalanan darat lintas-provinsi sejauh 1.500 kilometer membuka jalan pulang bagi para pesakitan itu.

Pantas saja rona kebahagiaan terpancar dari wajah mereka begitu mendapatkan kunjungan luar biasa dari tim beranggotakan lima orang pimpinan dan staf Atase Imigrasi KBRI Beijing tersebut. Senyum mereka langsung mengembang begitu melihat tim membawa peralatan dokumentasi lengkap, seperti kamera digital, laptop, dan pemindai sidik jari, termasuk berkas-berkas formulir isian.

Sejatinya mereka ingin pulang ke kampung halaman dengan cara baik-baik tanpa harus masuk penjara terlebih dulu. Sayangnya waktu yang mereka rencanakan tak kunjung tiba hingga polisi datang menjemput mereka.

"Kalian ingin pulang?" tanya Atase Imigrasi.

"Iya Pak. Sudah lama sekali kami merindukan keluarga di kampung," jawab Nur mewakili teman-temannya.

"Kenapa nggak langsung pulang aja sebelum ditangkap," tanya Fitri lagi.

"Tadinya, menunggu uang terkumpul dulu sampai Imlek," ucap Nur beralasan.

"Ah ada-ada aja kalian ini. Kalau SPLP ini jadi, kalian harus cepat pulang. Jangan ulangi lagi, perbuatan kalian ini jelas-jelas melanggar hukum," ucap atase yang akrab disapa Rafi itu mengingatkan. 

Kasus yang dialami Nur dan kawan-kawan memberi pelajaran besar, bukan hanya bagi mereka, melainkan juga bagi yang berniat bekerja di negeri orang agar selalu melengkapi diri dengan dokumen yang lengkap. 











 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023