Jika galon PC berhenti digunakan ... potensi kerugiannya sekitar Rp6 triliun ...
Jakarta (ANTARA) - Sejak pertengahan 2020, disadari atau tidak, berembus isu yang mempertanyakan keamanan penggunaan galon isi ulang untuk minuman.

Kabar ini sedikit banyak mengusik konsumen pengguna air mineral dari berbagai kalangan, termasuk rumah tangga hingga perkantoran, mengingat kemasan galon isi ulang telah digunakan sebagai kemasan air minum sejak 1983.

Bahkan sampai saat ini galon tersebut merupakan kemasan terbesar atau yang paling banyak digunakan konsumen Indonesia karena selain harganya murah, ketersediaannya pun mudah dan populer.

Selama sekitar 4 dekade, kemasan galon ukuran 19 liter itu memang sudah banyak digunakan dan diproduksi oleh sebagian besar produsen air minum dalam kemasan dengan berbagai merek.

Kemudian pada 2020, saat pandemi mulai melanda, muncul inovasi produk air minum dalam kemasan merek tertentu yang menggunakan kemasan sekali pakai berbahan plastik PET.

Dalam waktu hanya 2 tahun, air minum dalam kemasan dengan galon sekali pakai, PET, berhasil merebut 8 persen ceruk air minum dalam kemasan yang menggunakan galon. Bahkan pada tahun 2022, industri air itu mampu tumbuh 41 persen sebagaimana yang dicatat oleh Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas).

Di tengah persaingan sengit ini, produk air minum dalam kemasan yang menggunakan galon digempur dengan isu kesehatan, yakni bahaya BPA pada kemasan polikarbonat (PC) yang sebelumnya sudah digunakan selama puluhan tahun oleh sebagian besar masyarakat di Tanah Air.

Kampanye bahaya BPA pada galon isi ulang ini disuarakan sejumlah pihak yang gerakannya bahkan hingga mendesak Badan POM untuk melakukan pelabelan pada kemasan galon isi ulang PC dengan label berpotensi mengandung BPA.

Padahal, BPOM awalnya menyatakan bahwa kemasan galon PC aman, berdasarkan penelitian mereka dari 2016 hingga 2021.

Namun,¹ pada perkembangannya merilis draf revisi Peraturan BPOM tentang label pangan yang akan melabeli kemasan galon isi ulang PC dengan label “Berpotensi Mengandung BPA”.

Keputusan itu pun menjadi polemik termasuk ketika Perkumpulan Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) menentang rencana pelabelan tersebut.

Organisasi yang menaungi produsen air minum dalam kemasan itu menganggap kebijakan pelabelan ini akan menjadi “vonis mati” bagi produsen air kemasan galon isi ulang PC karena akan membentuk persaingan yang timpang dengan air mineral galon sekali pakai berbahan PET (GSP PET).

Aspadin berpendapat bahwa berdasar Peraturan BPOM tentang Kemasan, semua kemasan memiliki risiko bahkan termasuk plastik PET, namun kenapa hanya plastik PC yang harus dilabeli.


Kesehatan vs ekonomi

Tarik ulur isu ini pun menjadi dilema bagi dua sisi, yakni antara kesehatan dan ekonomi.

Dari sisi kesehatan, beberapa pakar polimer, pakar keamanan pangan, hingga pakar kesehatan, berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada penelitian dan konsensus ilmiah utuh tentang bahaya BPA pada kemasan pangan. Bahkan, penelitian ilmiah dampak BPA pada air minum dalam kemasan terhadap kesehatan juga belum ada penelitiannya secara khusus.

Tak berhenti sampai di situ, BPOM kemudian mengeluarkan draf revisi aturan kemasan di mana batas migrasi BPA pada kemasan PC diturunkan dari 0,6 bagian per juta (bpj) menjadi 0,05 bpj mengikuti standar Eropa. Negara lain di Asia, seperti Jepang masih mempertahankan batas 2,5 bpj dan kebanyakan negara lainnya mempertahankan di level 0,6 bpj.

Yang menarik, isu BPA yang mulai muncul di Kanada sejak 2004 dan di Eropa sejak 2012, baru menjadi kontroversi di Indonesia sejak 2020, pada saat galon sekali pakai kemasan PET muncul.

Sementara dari sisi ekonomi, menurut data dari Kementerian Perindustrian RI dan BPOM, saat ini ada sekitar 900 pelaku industri air minum dalam kemasan dengan lebih dari 2.000 merek di Indonesia. Mayoritas pelaku usaha tersebut adalah UKM.

Dan, ada setidaknya 40.000 tenaga kerja langsung pada industri ini yang jika diasumsikan economic multiplier sekitar 160.000 orang yang bergantung hidupnya secara langsung pada industri ini.

Bila diasumsikan 50 persen saja pelaku industri air minum dalam kemasan memproduksi air minum dalam kemasan galon, maka ada sekitar 450 perusahaan dengan 1.000 merek yang bergantung hidupnya dari air minum dalam kemasan dalam galon PC.

Penjualan air minum dalam kemasan galon PC dianggap menjadi penyelamat industri di saat penjualan kemasan cup dan botol. Saat ini, industri air minum dalam kemasan sedang berupaya bangkit dari krisis dengan kemasan galon sebagai motor kebangkitannya.

Dengan data produksi air minum dalam kemasan 2020 sebesar 29 miliar liter, yang 69 persen di antaranya dikemas dalam galon PC, maka jumlah air minum dalam kemasan galon PC sekitar 1 miliar buah per tahun.

Bila diasumsikan perputaran air minum dalam kemasan galon PC adalah 2 bulan, maka ada sekitar 170 juta buah galon PC yang beredar di pasar.

Mewajibkan pelabelan pada air minum dalam kemasan galon PC akan memakan waktu, upaya, dan biaya yang sangat besar yang harus ditanggung oleh industri dan akan berimbas kepada harga yang harus dibayar oleh konsumen.

Jika galon PC terpaksa harus hilang atau berhenti digunakan akibat aturan pelabelan ini maka potensi kerugian yang ditanggung bagi 170 juta buah galon PC adalah sekitar Rp6 triliun dengan asumsi harga 1 buah galon PC sekitar Rp35 ribu ditambah biaya pengganti galon non PC sekitar Rp10 triliun per tahun dengan asumsi galon non PC harganya Rp10.000 per buah.

Biaya ekonomi harus ditanggung juga oleh pelaku industri depo air minum isi ulang (DAMIU) yang mayoritas adalah UMKM dengan jumlah yang jauh lebih besar. Menurut data Kementerian Kesehatan saat ini ada sekitar 60.000 DAMIU di seluruh Indonesia. Semua DAMIU ini menggunakan galon PC.

Dengan demikian, akan sangat banyak pelaku industri air minum dalam kemasan dan industri yang terkait lainnya mengalami tekanan, penurunan penjualan, hingga penurunan produksi dan penghasilan.

Selain itu ada potensi turun juga pendapatan negara dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Perusahaan kemungkinan akan mengurangi jumlah tenaga kerja, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terganggu.

Tarik ulur memang masih belum usai, Presiden Jokowi juga belum meloloskan aturan pelabelan ini. Namun semua pihak diharapkan lebih bijak untuk melihat persoalan ini dari perspektif hajat hidup orang banyak.


*) Iwan Nurdin; pengamat ekonomi politik SDA, Direktur Lokataru Foundation














 

Copyright © ANTARA 2023