Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro memperkirakan penutupan Silicon Valley Bank (SVB) berdampak kecil kepada pemodal ventura atau Venture Capital (VC) lokal, berdasarkan indikasi awal.

“Kami masih menggalang data, namun indikasi awal adalah relatif sedikit VC di Indonesia yang berbisnis dengan SVB. Di samping itu, sangat sedikit juga VC Indonesia yang berinvestasi ke start up di Amerika Serikat,” katanya kepada Antara, Jumat.

Sebagian kecil perusahaan rintisan berbasis teknologi atau start up di Indonesia memang menerima investasi dari modal ventura di Amerika Serikat, tapi jumlahnya diperkirakan relatif sedikit.

“Kami masih mencari data konkret, tapi indikasi awalnya relatif sedikit start up yang mendapatkan investasi dari modal ventura di AS,” katanya.

Pengamat Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang menyebut penutupan SVB akan membuat start up semakin kesulitan mendapatkan pinjaman ataupun investor baru untuk mengembangkan bisnis teknologi.

Investor juga diperkirakan akan semakin berfokus kepada pendapatan start up yang lebih berkelanjutan ke depan.

“Dampak yang paling utama dari kasus SVB adalah karakter dan ekosistem start up yang pasti akan berubah secara drastis,” katanya.

Sementara itu, ia memperkirakan hanya start up dalam negeri yang mendapatkan pinjaman dana SVB yang akan terdampak penutupan SVB, yang merupakan bank AS yang memberikan banyak pendanaan pada start up.

“Konsumen baik perorangan maupun perusahaan yang menggunakan aplikasi para start up yang berhubungan dengan SVB ini yang juga berpotensi terdampak,” katanya.

Sebelumnya Regulator Perbankan California menutup SVB Financial untuk melindungi simpanan nasabah dalam kegagalan bank terbesar sejak krisis keuangan AS. Krisis modal di SVB telah menekan saham bank-bank secara global.

SVB telah mencoba bertahan tetapi gagal untuk menopang neracanya melalui penjualan saham yang diusulkan pada Rabu (8/3/2023) malam.

“Sebenarnya hal ini pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada tahun 1997-1998, disebut rush money. Tetapi itu terjadi pada bank umum yang dilakukan oleh perusahaan dan konsumen umum, sementara konsumen SVB adalah perusahaan teknologi yang mayoritas adalah perusahaan Amerika Utara,” katanya.

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023