Tower ini akan menghasilkan data, itu bisa dihitung. Inilah pentingnya kenapa dibangun tower Integrated Global Greenhouse Gas Information System (IG3IS) untuk memonitor tren GRK
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meresmikan Tower Gas Rumah Kaca (GRK) untuk memonitor konsentrasi GRK sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

"Kegiatan manusia mengakibatkan CO2 atau karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya. Tower ini akan menghasilkan data, itu bisa dihitung. Inilah pentingnya kenapa dibangun tower Integrated Global Greenhouse Gas Information System (IG3IS) untuk memonitor tren GRK," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di sela peresmian Tower GRK dalam puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Dalam peringatan HMD yang diselenggarakan di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat itu, ia mengatakan BMKG juga akan membangun menara lainnya di berbagai wilayah Indonesia agar dapat terdeteksi wilayah yang memproduksi gas rumah kaca paling banyak.

Dwikorita mengingatkan perubahan iklim telah membuat frekuensi terjadinya bencana alam meningkat. BNPB mencatat 95 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometerologi.

Baca juga: Hari Meteorologi Dunia pengingat perubahan iklim

"Bapak Presiden RI Joko Widodo juga menyatakan dengan keras untuk mengingatkan kita semua bahwa perubahan iklim menjadi hal yang mengerikan yang kini ditakuti oleh semua negara, bukan hanya di Indonesia," tuturnya.

Dwikorita menambahkan perubahan iklim telah membuat bencana hidrometeorologi semakin sering terjadi dan intensitasnya semakin meningkat.

"Sebelum tahun 1980 kejadian El Nino dan La Nina selalu bergantian, periode ulangnya 5-7 tahun. Tapi mulai 1981 hingga saat ini kejadiannya semakin sering setiap 2-3 tahun, ini contoh adalah dampak perubahan iklim," paparnya.

Baca juga: BMKG ajak masyarakat kontribusi tahan laju pemanasan global

Ia menjelaskan El Nino adalah anomali iklim yang berakibat pada musim kering yang berkepanjangan. Sementara La Nina adalah anomali iklim yang berdampak pada peningkatan curah hujan yang panjang.

Sementara itu Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan Tower GRK setinggi 100 meter di Kototabang itu dilengkapi dengan sensor meteorologi yang berfungsi melakukan pemantauan di tiga titik ketinggian yaitu 30 meter, 70 meter, dan 100 meter.

Ia menambahkan pemantauan GRK dari menara itu akan memberikan gambaran profil GRK pada ketinggian yang berbeda dan menjadi wujud kontribusi Indonesia dalam Program IG3IS.

"Peningkatan kapasitas pemantauan GRK melalui IG3IS ini akan digunakan lebih lanjut dalam mengembangkan pemodelan untuk emisi GRK sebagai informasi komplementer inventarisasi GRK nasional, utamanya untuk estimasi global stocktake yang mewujudkan salah satu target dari Kesepakatan Paris di tahun 2030," katanya.

Baca juga: BMKG: Sebagian wilayah RI berpotensi hujan lebat hari ini
Baca juga: Pemantauan GRK dorong upaya strategis mitigasi iklim
 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023