Jakarta (ANTARA) - Pakar bidang estetika dan antipenuaan dari Perhimpunan Dokter Estetika Indonesia dr Cynthia Jayanto M. Biomed (AAM) mengatakan nekrosis dapat menjadi salah satu efek samping dari perawatan filler yang dilakukan tenaga medis bukan dokter.

"Terbaru, kami menerima pasien mengalami nekrosis akibat treatment filler dagu yang dikerjakan oleh tenaga medis bukan dokter. Pasien datang dengan keluhan bengkak dan setelah di-filler makin bengkak, nyeri dan nekrosis kebiruan," kata Cynthia melalui keterangan tertulis, Selasa.

Nekrosis merupakan suatu kondisi pembuluh darah di area wajah yang kemasukan cairan filler, lalu menyebabkan obstruksi pada pembuluh darah sehingga terjadi pembengkakan. Kondisi bengkak ini tak bisa diabaikan karena ada infeksi dan jaringan yang membiru akibat oksigen kulit terganggu.

Sementara itu, filler termasuk salah satu perawatan antipenuaan atau anti-aging yang dikatakan dapat mengatasi masalah kerutan atau guratan halus di kulit wajah. Perawatan ini juga berfungsi untuk memberikan volume sehingga wajah tambah lebih plump, awet muda dan membentuk wajah, seperti pipi lebih tinggi, pelipis lebih berisi, dagu lebih berbentuk, dan rahang tidak kempot.

Baca juga: Yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah "filler"

Namun, prosedur filler yang dikerjakan tenaga medis bukan dokter apalagi tidak berlisensi bisa berisiko memunculkan efek samping salah satunya nekrosis. Ini karena prosedur teknik yang salah dan tidak mengetahui anatomi yang benar.

"Tenaga medis non dokter itu tidak tahu standar keseluruhan dari treatment filler dan juga secara teknis. Inilah awal dari masalah orang yang mengalami masalah filler," jelas dia.

Menurut Cynthia yang pernah menempuh pendidikan di Universitas Udayana itu, seseorang dengan wajah yang sudah mengalami nekrosis, jaringan kulitnya rusak dan terjadi cacat seumur hidup.

Pasien nekrosis biasanya memiliki kualitas hidup yang menurun akibat sering mengalami demam dan menggigil saat tidur malam. Di sisi lain, penyembuhan kondisi ini tidak bisa instan atau dalam sekali datang, dan pengobatannya juga relatif sakit.

"Karena kalau sudah bengkak, pasti ada nanah di dalamnya, akibat adanya sel sel dan jaringan hidup yang mati. Itu semua harus dikeluarkan dulu nanahnya, itulah tantangannya. Kalau sudah keluar semua nanahnya, baru bisa diobati," jelas dia.

Dia mengatakan, waktu penyembuhan nekrosis bergantung pada derajat keparahannya. Tetapi, umumnya menghabiskan waktu berbulan-bulan karena harus secara melakukan pemeriksaan berkala.

Pasien sebenarnya bisa mendapatkan penanganan rekonstruksi estetik dari spesialis bedah plastik atau konsultan rekonstruksi estetik. Namun, hasilnya belum tentu membuat bagian wajah kembali seperti semula, tetapi hanya bisa membuat area yang mengalami nekrosis menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, menurut Cynthia, agar tak mengalami nekrosis, mereka yang ingin melakukan perawatan filler perlu melakukan konsultasi dulu dengan dokter spesialis kecantikan atau spesialis kulit, agar bisa menghasilkan hasil yang maksimal dan tidak membuat wajah infeksi.

Lebih lanjut, sambung dia, secara umum, filler harus dilakukan oleh dokter dan sebaiknya memang berpengalaman dan berlisensi di bidang estetik. Risiko seseorang mengalami nekrosis pun bisa menurun apabila dia mendapatkan perawatan filler dari dokter berpengalaman.

"Karena itu berhubungan kompetensi saat melakukan tindakan dan bagaimana mengatasi masalahnya kalo nekrosis timbul. Dokter yang baik itu, bukan sekedar mengerjakan (treatment) saja, tapi juga mengatasi masalah kalau sedang apes atau sial," jelas dia.

Baca juga: Botox dan filler jadi tren perawatan kecantikan tahun ini

Baca juga: Mengatasi kulit kendur dengan filler yang tepat

Baca juga: Muncul alergi kulit selama WFH? Mungkin gara-gara stres

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023