Ruang lingkup linguistik forensik tidak hanya terbatas pada kasus-kasus di media digital, tetapi lebih luas lagi
Depok (ANTARA) - Linguistik forensik yang merupakan persilangan antara bahasa, kejahatan, dan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum, urusan pengadilan, legislasi, perseteruan di pengadilan membuat perkara hukum yang ditimbulkan oleh bahasa dapat lebih mudah ditangani.

"Linguistik forensik adalah linguistik yang melihat akar suatu permasalahan yang berhubungan dengan hukum. Ketika kita menerjemahkan, apalagi penerjemah tersumpah, itu artinya harus bisa menunjukkan penguasaannya, karena jika salah tentu akan menjadi masalah juga di hukum," kata Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI), Dr. Untung Yuwono dalam keterangannya, Sabtu.

Ia mengatakan ketika ahli bahasa diminta untuk menerjemahkan bukti dalam sebuah kasus, ia harus menunjukkan penguasaannya sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

"Ruang lingkup linguistik forensik tidak hanya terbatas pada kasus-kasus di media digital, tetapi lebih luas lagi. Linguistik forensik bahkan masuk ke dunia akademik, seperti isu plagiarisme," katanya.

Baca juga: Masyarakat Linguistik Komputasional inginkan korpus bahasa Indonesia

Menurutnya, mesin-mesin pengecekan plagiarisme belum tentu menggambarkan tindak plagiarisme hanya karena uji kemiripannya tinggi, sehingga perlu dilakukan pengecekan ulang oleh ahli bahasa.

Untuk meningkatkan kemampuan ahli bahasa di bidang linguistik forensik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB UI) mengadakan pelatihan linguistik forensik.

Dr. Untung mengatakan kegiatan tersebut akan terus dilanjutkan dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat, khususnya kepada para profesional.

"Kita juga bisa kembangkan kegiatan ini dengan program lain, misalnya kerja sama antar-universitas terkait linguistik forensik, seminar, serta sertifikasi bagi pegiat linguistik forensik, terutama dalam saksi ahli bahasa," ujarnya.

Dalam mengkaji teks forensik, konteks di mana teks itu muncul juga harus diperhatikan. Konteks adalah semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, misalnya lingkungan kebahasaan, fisik, atau mental yang dirujuk oleh pemakai. Misalnya, ada unggahan di media sosial tentang hinaan kepada seseorang atau lembaga.

Unggahan tersebut berupa visual, audio, dan tulisan. Maka, ketiga moda tersebut harus dikaji, apakah ada unsur kejahatan di dalamnya jika merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Baca juga: Unpad kukuhkan dua guru besar di bidang Sastra dan Linguistik
Baca juga: Dokter ungkap kendala pembuktian forensik terkait kekerasan seksual

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023