Dalam sawit berkelanjutan segala aspek sudah jelas diatur
Pontianak (ANTARA) - Akademisi Fisipol Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr. Erdi menilai sertifikasi sebagai jalan tengah untuk membuktikan komitmen pemerintah, pengusaha dan rakyat dalam mewujudkan sawit berkelanjutan karena sesuai norma budi daya dan karakter tanaman.

"Sertifikasi kebun sawit baik milik perusahaan swasta, pemerintah dan swadaya penting untuk sertifikasi. Hal itu sebagai komitmen mewujudkan sawit yang berkelanjutan. Dalam sawit berkelanjutan segala aspek sudah jelas diatur," ujarnya di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu.

Pengamat kebijakan publik itu mengatakan bahwa sertifikasi baik Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability and Carbon Certification maupun Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) sangat penting dan harus menjadi perhatian.

"Bisa saja satu hamparan kebun mendapatkan tiga sertifikasi sekaligus ISCC, RSPO dan ISPO sebagaimana diraih oleh Cargill yang merupakan anggota Gapki Kalbar pada kebun kelapa sawit di Manismata, Kabupaten Ketapang. Group perusahaan Amerika ini dapat menjadi contoh terbaik dalam implementasi standar agriculture practice (GAP) atau pedoman umum dalam melaksanakan budi daya yang benar hingga mendapatkan sertifikasi," ucap dia.

Ia juga membantah bahwa sertifikasi yang memerlukan biaya hingga ratusan juta rupiah itu telah memberatkan petani. Ini tentu dengan beberapa alasan. Pertama, biaya tidak mesti dikeluarkan oleh kelompok petani sendiri, tetapi ada lembaga pembiayaan yang menyediakan dana untuk membiayai proses sertifikasi itu.

Perusahaan sebagai "bapak petani" biasanya mencari lembaga tersebut. Ketika masyarakat awam melihat biaya sertifikasi mencapai ratusan juta rupiah, boleh saja mengatakan sertifikasi memberatkan petani.

Ditambah lagi mempersiapkan dokumen dan kondisi GAP merujuk pada persyaratan sertifikasi bisa mencapai waktu 2 tahun. Biaya sekitar Rp120 juta itu mesti dikeluarkan oleh kelompok tani untuk proses verifikasi saat verifikator turun lapangan dalam verifikasi data.

"Namun, sumber dana pembiayaan sertifikasi boleh saja berasal dari para donatur. Semua dana tersebut adalah dana investasi, karena dengan petani memiliki Sertifikat RSPO, kelompok tani akan menjual tandan buah segar (TBS) sawit petani hanya kepada perusahaan pemilik pabrik dan kebun kelapa sawit yang juga telah mengantongi RSPO," kata dia.

Menurutnya, perusahaan yang baik ketika mendapat dana premium price atau penetapan harga premium dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam RSPO tentu akan membagi hal itu kepada petani sesuai kontribusi kelompok tani dalam penjualan TBS sawit. Ia mencontohkan Cargill yang "memaksa petani plasma" mereka mengurus RSPO dan sebagian ISCC akhirnya petani plasma mendapat jatah premium price sebesar Rp3,9 miliar.

"Tentu, nilai Rp120 juta sebagai proses pembuatan pengurusan sertifikasi di atas tidak seberapa ketika kemudian diganti dengan imbalan premium price sebesar Rp3,9 miliar," kata dia.

Selanjutnya, kebun yang disertifikasi adalah kebun kelompok, bukan kebun perorangan. Pada kebun masyarakat di bawah Cargill di Manismata mencakup 645 orang petani mandiri dengan luasan tersertifikasi 2.316 hektare. Juga ada kelompok petani plasma penerima sertifikasi ISCC dengan anggota sekitar 1.500 petani dengan luasan 3.064 hektare.

"Sebuah prestasi luar biasa yang sama-sama menguntungkan. Kompak dan komit menjadi satu kata dalam membuat proses ini menjadi sukses dan menguntungkan semua," ucap dia.

Berdasarkan Inpres Nomor 44 tahun 2020, memberikan mandat kepada perusahaan sawit dan petani swadaya untuk mengupayakan ISPO.


Baca juga: Peneliti Jepang: Sawit buka isolasi daerah dan tingkatkan ekonomi
Baca juga: Harga TBS sawit di Kalbar tren naik tertinggi capai Rp2.661,93/kg
Baca juga: BPDPKS dukung koperasi dan UKM kembangkan produk sawit

Pewarta: Dedi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023