Jakarta (ANTARA) - Perkembangan dunia semakin hari semakin cepat. Tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang kian tinggi membuat para anggota keluarga harus bekerja dan tidak memiliki waktu untuk mengurus rumah atau anak, sehingga profesi pekerja rumah tangga (PRT) menjadi sangat dibutuhkan agar rumah dan anak tetap terurus saat semua mencari nafkah.

Hanya saja, profesi yang mulia ini kurang mendapatkan perhatian. Tidak jarang kita temui pemberitaan tentang kasus PRT yang menjadi korban kekerasan majikannya.

Perlindungan hukum terhadap profesi PRT sudah didorong sejak lama, dan saat ini perjuangan tersebut mendapatkan titik terang.

Titik terang itu membuat sejumlah elemen masyarakat yang berada di atas balkon Gedung Parlemen, Jakarta, bersorak dan meneriakkan kalimat "Terima kasih", usai berakhirnya Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023.

Pasalnya, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akhirnya disetujui untuk menjadi RUU inisiatif DPR RI.

Elemen masyarakat yang memenuhi "fraksi balkon" dalam agenda tersebut, di antaranya rombongan Jaringan Advokasi Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Perempuan Mahardhika, hingga Institut Sarinah.

Peristiwa ini merupakan babak baru dalam 19 tahun perjalanan RUU ini sejak diusulkan ke DPR pada 2004 silam.

Momentum ini menjadi kabar baik bagi para pekerja domestik di Indonesia serta buruh migran yang bekerja di luar negeri untuk mendapatkan perlindungan hukum atas profesi mereka.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menyampaikan apresiasi atas disahkannya RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR setelah belasan tahun mandek di parlemen.

Pengesahan RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR menjadi catatan bersejarah bagi Puan Maharani, perempuan pertama yang menjabat Ketua DPR RI, setelah sebelumnya mengesahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan menginisiasi Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).


Sesuai arahan Presiden

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyambut baik keputusan paripurna DPR RI yang memutuskan RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada 18 Januari mengenai pentingnya RUU PPRT.

KSP sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT memberikan dukungan penuh kepada Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta pemangku kepentingan terkait untuk segera membahas RUU PPRT bersama dengan DPR.

Sementara Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta agar Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk pembahasan RUU PPRT dipersiapkan dengan baik.

Persiapan tersebut penting agar pembahasan RUU PPRT berlangsung efektif, sehingga menghasilkan payung hukum yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi para pekerja rumah tangga.

Anggota DPR yang terlibat pembahasan RUU PPRT harus menyerap berbagai masukan dari masyarakat untuk penyempurnaan saat proses pembahasan dilakukan.

Dalam penerapannya nanti, kehadiran UU ini menuntut komitmen kuat dari para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum.

Selain itu, juga dibutuhkan dukungan berbagai pihak terhadap penerapan UU PPRT dalam rangka mendorong kehadiran negara dalam proses memanusiakan setiap warga negara.

Menurut Ketua Panitia Kerja RUU PPRT Willy Aditya, selanjutnya RUU PPRT akan mulai dibahas DPR bersama dengan pemerintah.

Kemudian, setelah seluruh tahapan pembahasan dilaksanakan dan memperoleh kesepakatan, maka RUU PPRT akan siap untuk disahkan menjadi Undang-undang.


Pengakuan profesi PRT

Anggota Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi mengatakan RUU PPRT ini akan memberikan pengakuan terhadap status pekerja rumah tangga, sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap profesi PRT yang mayoritas dijalankan oleh kaum perempuan.

RUU ini juga bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya perbudakan modern, seperti jam kerja yang panjang, kerja tanpa istirahat, serta upah tidak layak.

Bagi Komnas Perempuan, selama ini status PRT sebagai pekerja belum memiliki payung hukum.

Bahkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2005-2022 mengidentifikasikan adanya 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.

Sementara itu, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 29 kasus PRT periode tahun 2017 - 2022, dengan bentuk kekerasan yang beragam, seperti kekerasan fisik, hingga gaji yang tidak dibayar.

Komnas Perempuan serta jaringan aliansi masyarakat sipil saat ini telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPRT kepada Pemerintah.

Komnas Perempuan juga menunjukkan kepeduliannya mengenai pembahasan RUU PPRT dengan melakukan kampanye, advokasi, lobi-lobi, agar RUU ini selanjutnya segera dibahas di DPR.

Para aktivis perempuan itu menunggu adalah kemauan baik dari legislatif. Karena Komnas Perempuan bersama masyarakat sipil, pemerintah, sebenarnya sudah satu kata, satu semangat, bahwa RUU ini penting untuk segera menjadi undang-undang.

Menjalani profesi sebagai PRT bukanlah pekerjaan mudah. Mereka tidak memiliki hak dan kewajiban yang terjamin oleh hukum sebagaimana layaknya pekerja dalam sebuah korporasi. PRT merupakan pekerjaan informal yang biasanya hanya berdasarkan kontrak lisan antara majikan dengan PRT.

Tidak ada hukum yang mengatur jam kerja atau gaji mereka, yang ada hanya kebijaksanaan dari majikan masing-masing. Beruntung PRT yang mendapatkan majikan yang baik dan mau memenuhi hak-haknya, namun tidak sedikit PRT yang menderita akibat majikan yang tidak baik, bahkan melakukan kekerasan terhadap mereka.

Sudah saatnya hak-hak para PRT diperhatikan oleh negara. Hadirnya UU PPRT diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap profesi ini sehingga pekerja rumah tangga dapat menjalani profesi-nya dengan layak sebagaimana profesi lain.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023