Amman (ANTARA News) - Jordania, Sabtu (1/12), menyampaikan pengutukan kerasnya terhadap rencana Israel untuk membangun 3.000 rumah di wilayah pendudukan Jerusalem Timur, demikian laporan kantor berita resmi Jordania, Petra.

Menteri Negara Urusan Media Jordania Samih Maaytah mengatakan keputusan itu bertolak-belakang dengan keabsahan dan hukum internasional, dan menekankan penolakan negaranya terhadap keputusan tersebut.

Keputusan Israel itu merusak semua upaya untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, kata Maaytah.

Ia menambahkan kegiatan permukiman Israel ditolak dan tidak sah dan merupakan aksi bermusuhan yang negatif oleh pemerintah Israel bagi proses perdamaian.

Sementara itu, Maaytah mendesak masyarakat internasional agar segera turun-tangan guna menghentikan tindakan sepihak Israel, demikian dilaporan Xinhua, Ahad.

Kabinet keamanan Israel, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah memutuskan untuk mengizinkan pembangunan 3.000 unit rumah lagi di Jerusalem Timur dan Tepi Barat Sungai Jordan.

Dalam dua bulan belakangan, Kementerian Perumahan Israel mengumumkan tender buat lebih dari 2.000 rumah baru di permukiman di Jerusalem Timur dan di Tepi Barat, yang "berada di luar perbatasan 1967" --yang berarti semua tanah yang dicaplok oleh Israel selama Perang 1967.

Proses perdamaian antara Israel dan Palestina macet pada 2010, sehubungan dengan meningkatnya kecaman terhadap perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Pada Jumat (30/11), pemimpin Palestina mengutuk keputusan pemerintah Israel untuk membangun permukiman baru Yahudi, sehari setelah peningkatan status Palestina di PBB jadi negara non-anggota.

"Ini adalah tamparan bagi seluruh dunia, yang memberi suara mendukung negara Palestina," kata Nabil Abu Rdineh, Juru Bicara bagi Presiden Palestina. "Ini adalah tindakan tidak sah dan tak sesuai hukum," kata Abu Rdineh dalam pernyataan yang disiarkan kantor berita resmi Palestina, Wafa.

Pada hari yang sama Presiden Palestina Mahmud Abbas mendesak Israel agar menghentikan pembangunan permukiman dan kembali ke perundingan perdamaian.

Abbas, pada Kamis (29/11), menyeru Sidang Majelis Umum PBB untuk "mengeluarkan sertifikat kelahiran mengenai kenyataan Negara Palestina".

Presiden Palestina itu mengeluarkan pernyataan tersebut di Sidang Majelis Umum, yang memiliki 193 anggota, saat ia mengajukan permintaan bersejarah Palestina bagi peningkatan status "negara non-anggota" di PBB.

Amerika Serikat, Kamis (29/11), menyeru Palestina dan Israel agar melanjutkan pembicaraan perdamaian, setelah Sidang Majelis Umum PBB dengan suara berlimpah menyetujui resolusi yang secara tersirat mengakui negara Palestina.

(C003/C003)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012