Dicari: 100.000 ekor anak sapi; waktu: tahun 2013; pembeli: BUMN; tujuan: dipelihara sebagai sapi potong untuk membantu mengatasi kekurangan daging lokal,"
Jakarta (ANTARA News) - "Dicari: 100.000 ekor anak sapi; waktu: tahun 2013; pembeli: BUMN; tujuan: dipelihara sebagai sapi potong untuk membantu mengatasi kekurangan daging lokal".

Itu bukan iklan biasa. Itu iklan yang sangat mendesak. Mencari 20.000 ekor anak sapi saja ternyata bukan main sulitnya. Apalagi 100.000 ekor atau bahkan 200.000 ekor.

Maka setelah teman-teman BUMN menekuni persapian selama enam bulan, rupanya diperlukan sebuah pertolongan. Teman-teman BUMN yang keahliannya berkebun sawit, tidak menemukan akal untuk mengatasi kekurangan bibit sapi.

Jelaslah bahwa mahalnya makanan ternak, yang dulu dianggap sebagai persoalan besar, ternyata bukan satu-satunya persoalan di bidang peternakan sapi. Soal itu sudah ditemukan jalan keluarnya: daun dan pelepah sawit ternyata bisa untuk bahan pokok makanan sapi yang murah. Daun dan pelepah sawit dihancurkan untuk dibentuk mirip rumput. Tidak ada masalah teknis di sini. Tinggal diperlukan beberapa tambahan untuk kelengkapan nutrisinya.

BUMN memiliki sekitar 800.000 ha kebun kelapa sawit. Bermiliar pohon sawit menghasilkan daun dan pelepah yang luar biasa banyak. Begitu banyak daun sawit yang selama ini dibuang begitu saja di kebun.

Berdasarkan logika itulah, saya memutuskan untuk menugaskan perusahaan perkebunan sawit milik BUMN untuk memelihara sapi. Agar bisa membantu kecukupan daging di dalam negeri. Selama ini kita masih harus impor daging dalam jumlah yang sangat besar.

Tahun lalu kita impor daging setara dengan kira-kira 300.000 ekor sapi. Tahun ini kita masih harus impor daging kurang lebih sebesar itu lagi.

Pada awalnya kami membuat target yang agak ambisius: memelihara 100.000 ekor sapi di seluruh perkebunan kelapa sawit BUMN. Jumlah itu, meski kelihatan ambisius, tapi masih terlalu kecil untuk bisa menutupi kekurangan daging dalam negeri. Karena itu kalau saja target 100.000 ekor itu berhasil, jumlahnya akan terus ditingkatan.

Ternyata tidak mudah mendapatkan bibit sampai 100.000 ekor. Semula ada asumsi bahwa kita kekurangan daging lantaran peternak kurang bersemangat memelihara sapi. Penyebabnya: makanan ternak terlalu mahal sehingga hasil penjualan sapi habis untuk membeli makanan ternak.


Sumber makanan ternak

Kini BUMN memiliki sumber makanan ternak yang sangat murah dan melimpah. Ternyata belum juga menjadi solusi yang jitu. Sulitnya mencari anakan sapi yang bisa digemukkan di ladang-ladang sawit telah terbukti menggagalkan target tersebut.

Daerah yang biasa menjadi sumber anak sapi yang besar (Lampung, Jateng, Jatim/Madura, Sulsel, Bali) menjadi sasaran pencarian. Tapi jumlah yang bisa dibeli sangat terbatas. Sampai akhir tahun ini diperkirakan hanya akan ada sekitar 20.000 ekor.

Mungkin dari NTB/NTT bisa diperoleh tambahan anak sapi. Tapi ongkos angkutnya ke Sumatera sangat mahal. Jumlahnya pun tidak akan bisa mencapai 100.000 ekor, apalagi 300.000. Betul-betul perlu bantuan ide yang realistis dari siapa pun untuk memecahkan persoalan ini.

Sumber makanan ternak yang murah dan melimpah ada di Sumatera (barat). Sedang sumber bibit sapi ada di NTB/NTT (timur). Jarak barat-timurnya begitu jauh.

Memang ada ide yang kelihatannya masuk akal: makanan ternaknya yang dikirim ke timur. Di kebun-kebun sawit di Sumatera bisa dibangun pabrik makanan ternak yang bahan bakunya dari daun sawit dan bungkil kelapa. Lalu diangkut ke timur. Mengangkut makanan ternak lebih mudah dan lebih murah daripada mengangkut sapi hidup.

Tapi ide yang kelihatannya hebat ini tidak akan bisa dilaksanakan. Daun sawit yang selama ini dibuang itu, pada dasarnya menjadi pupuk bagi sawit itu sendiri. Kalau daunnya diangkut keluar dari kebun, hilanglah salah satu sumber pupuk alami kebun tersebut.

Ini berbeda kalau daun sawit tersebut dimakan sapi di lokasi yang sama. Sapi akan mengeluarkan kotoran. Kotoran sapi itulah yang akan dijadikan pupuk untuk menggantikan daun sawit yang hilang. Meski kebun sawit kehilangan daunnya namun mendapat ganti dari kotoran sapi.


Pemecahan persoalan kekurangan daging

Bagaimana memecahkan ini? BUMN tetap ingin berbuat untuk ikut memecahkan persoalan kekurangan daging ini. Tapi memerlukan ide-ide yang realistis dan bisa dilaksanakan dengan segera.

Salah satu ide baru yang ditemukan adalah ini: harus ada program khusus membuat anak sapi sebanyak-banyaknya di Sumatera. Dengan demikian pengangkutan anak sapinya ke kebun-kebun sawit tidak terlalu jauh.

Tapi harus ada pendataan ini: ada berapakah sapi betina yang siap bunting di seluruh Sumatera? Kalau, misalnya, ada 300.000 sapi betina usia bunting di seluruh Sumatera, maka BUMN bisa membantu para pemilik sapi untuk melaksanakan kawin massal melalui "kawin suntik" (inseminasi buatan).

Kementerian Pertanian sudah memiliki lembaga yang memproduksi sperma sapi dari benih yang unggul. Lembaga itu memiliki reputasi yang sangat baik. Bahkan sudah dipercaya oleh Jepang, Malaysia, dan beberapa negara tetangga. Mereka sering beli sperma sapi buatan Malang itu karena harganya yang sangat murah dan mutunya yang baik.

Tingkat keberhasilan sperma sapi buatan negara maju memang lebih tinggi (96%), tapi karena harganya yang 30 kali lipat lebih mahal dari sperma bikinan Malang, jatuhnya masih sangat mahal. Padahal sperma bikinan Malang meski tingkat keberhasilannya kalah, tapi tidak beda jauh: 81 %.

Dokter hewan Herliantin, ahli inseminasi buatan lulusan Universitas Airlangga Surabaya yang bekerja di lembaga tersebut, setuju dengan ide itu. Asal jumlah sapi betina di seluruh Sumatera mencukupi. Drh Herliantin siap memasok sperma unggul dalam jumlah sampai 500.000 paket.

Maka teman-teman BUMN punya pekerjaan baru: mengumpulkan data sapi betina di seluruh Sumatera. Lalu melakukan koordinasi dengan dinas-dinas peternakan kabupaten: apakah para pemilik sapi betina bersedia diajak mengikuti program kawin suntik ini.

Menurut drh Herliantin, kini tidak ada lagi persoalan teknis maupun nonteknis. Dulu memang pernah ada persoalan nonteknis di Madura: sapi hasil kawin suntik dianggap haram. Tapi setelah dilakukan berbagai penjelasan akhirnya para ulama di Madura sudah tidak mempersoalkan lagi.

Dengan sudah ditemukannya sumber makanan sapi yang melimpah dan murah, persoalan ketersediaan anak sapi menjadi persoalan utama yang harus dipecahkan.

Peternak memang lebih memilih usaha penggemukan daripada usaha memproduksi anak sapi. Menggemukkan sapi cukup dalam waktu enam bulan. Cukup membeli anak sapi yang sudah berumur dua tahun. Enam bulan kemudian sudah bisa dijual.

Bandingkan kalau peternak harus fokus ke usaha memproduksi anak sapi. Mereka harus membeli induk dulu. Lalu dikawinkan. Kalau pun berhasil 10 bulan kemudian baru beranak. Lalu harus memelihara anak itu selama dua tahun. Total diperlukan proses pemeliharaan selama tiga tahun untuk bisa menjual anak tersebut. Selama tiga tahun itu biaya yang dikeluarkan sangat besar seiring dengan mahalnya makanan ternak.

Saya yakin kalau persoalan ini dibuka di sini, akan banyak ahli dan praktisi yang bisa ikut memecahkannya. Prinsipnya BUMN bersedia ikut membantu mengatasi kekuarangan daging tersebut. Prinsip yang lain: BUMN memiliki sumber makanan ternak yang murah dan melimpah. Hanya saja lokasinya di Sumatera.

Tim BUMN pun akan dengan senang menerima ide-ide itu melalui email: ideaanaksapi@gmail.com. Siapa tahu, dan saya berharap, ada pemikiran yang bisa cepat diwujudkan.

*Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012